Legenda candi ke seribu atau lebih dikenal Dongeng Candi Prambanan adalah Cerita Rakyat Yogyakarta yang sangat terkenal. Legenda ini menjadi latar terbentuknya Candi Prambanan yang ada di Yogyakarta. Bagi yang belum pernah mendengar cerita rakyat loro jongrang, kalian beruntung dapat mengetahui legenda loro jongrang melalui blog dongengceritarakyat.com ini. Selamat membaca.
Dongeng Candi Prambanan – Cerita Rakyat Yogyakarta
Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan, amat sedih atas kematian ayahnya. Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging telah membunuh ayahnya dan mengambil alih kekuasaan. Ia lalu mengajak Bi Sumi, pengasuhnya, untuk meninggalkan istana. Ia ingin melupakan semua kenangan di istana itu. Saat keduanya keluar dari pintu gerbang utama, sekelompok pasukan mencegat mereka. “Mau ke mana kalian? Kami diperintahkan untuk menjaga Putri Loro Jonggrang.”
“Maaf Tuan, kami hendak pergi dari istana ini,” jawab Loro Jonggrang. Tiba-tiba terdengar suara besar berwibawa, “Loro Jonggrang… kau tak boleh pergi dari sini.” Rupanya itu suara Bandung Bondowoso. Loro Jonggrang dan Bi Sumi gemetar, takut Bandung Bondowoso akan membunuh mereka.
Ternyata Bandung Bondowoso meminta Loro Jonggrang untuk menjadi istrinya. Loro Jonggrang merasa kaget dan tak sudi menjadi istri pembunuh. Namun Loro Jonggrang sadar, ia tak boleh gegabah. Tiba-tiba terlintas ide di benaknya. “Hamba bersedia menjadi istri Tuan, tetapi tentu saja ada syaratnya. Anggap saja ini permintaan mas kawin dari hamba,” katanya.
Bandung Bondowoso menjawab dengan angkuh “Apa pun yang kau minta, pasti akan kuberikan,” jawabnya. Loro Jonggrang menjawab “Jika begitu, buatkan hamba seribu candi Tuan.”
“Seribu candi? Tak masalah, demi dirimu, akan kubuatkan segera,” jawab Bandung Bondowoso. “Namun candi itu harus selesai dalam waktu semalam saja.” kata Loro Jonggrang lagi.
“Hmm… rupanya wanita ini ingin mengerjaiku. Dia belum tahu siapa aku,” kata Bandung Bondowoso dalam hati. Tak mau kehilangan wibawanya, Bandung Bondowoso pun mengiyakan permintaan Loro Jonggrang.
“Aku akan meminta tolong pada pasukan jin. Seribu candi dalam semalam bukan hal yang sulit bagi mereka.” pikirnya. Ya, Bandung Bondowoso memang berteman dengan pasukan jin. Malamnya, ia mulai melakukan ritual untuk memanggil jin. Sambil mengangkat kedua tangannya, ia berteriak “Pasukan Jin… datanglah! Aku perlu bantuan kalian!”.
“Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” tanya pemimpin jin. “Buatkan aku seribu candi dan selesaikan semuanya malam ini juga” perintah Bandung Bondowoso.
“Siap Tuanku!” jawab mereka. Para jin mulai bekerja. Benar saja, dalam waktu yang sangat singkat, bangunan candi sudah mulai tampak tersusun. Bandung Bondowoso menepuk dada. “Kau tak bisa lari kemana-mana Loro Jonggrang.” katanya dalam hati.
Diam-diam, Loro Jonggrang mengintip dari kamarnya. Ia tak menyangka bahwa Bandung Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
“Gawat, seribu candi itu akan segera selesai. Aku harus segera melakukan sesuatu. Aku tak sudi menikah dengannya.” Loro Jonggrang membangunkan Bi Sumi yang terlelap. “Bangun Bi, aku butuh bantuan Bi Sumi” bisik Loro Jonggrang sambil menggoyang-goyangkan badan Bi Sumi. “Bi, apa yang harus kita lakukan? Coba lihat ke arah sana. Bandung Bondowoso memanggil pasukan jin untuk membantunya,” tanya Loro Jonggrang bingung. Bi Sumi memandang keluar kamar. Ia mengucek-ucek matanya seolah tak percaya, “Candi itu sudah hampir selesai… gawat,” teriaknya panik.
Bi Sumi keluar kamar. Ia membangunkan semua dayang dan pengawal istana.”Apa yang akan kita lakukan Bi?” tanya mereka bingung. Bi Sumi menjelaskan, “Jin itu takut pada sinar Matahari. Jika Matahari terbit, mereka akan lari, jadi candi-candi itu tak akan selesai.”
“Tapi itu tak mungkin Bi… sekarang kan masih tengah malam. Bagaimana bisa ada sinar Matahari?” sahut Loro Jonggrang tak mengerti. “Ssttt… kau diam saja. Ayo semuanya, ikuti aku.” kata Bi Sumi. Mereka lalu mengendap-endap ke sebelah timur istana. Bi Sumi memerintahkan para dayang dan pengawal istana untuk mengumpulkan setumpuk jerami, termasuk Loro Jonggrang. Setelah itu, Bi Sumi mengambil obor dan membakar semua jerami itu. Bi Sumi juga memerintahkan para dayang untuk menumbuk lesung. “Dung… dung…. dung….” suara lesung ditumbuk pun bertalu-talu.
Api semakin besar, semburatnya membuat langit tampak merah. Diiringi dengan suara lesung yang ditumbuk, suasananya mirip suasana di pagi hari. Ayam jago pun tertipu oleh keadaan itu dan berkokok keras-keras. “Kukuruyukk…. kukuruyukkk….”
Pasukan jin bingung. Mereka menengok ke langit. “Wah, Matahari sudah terbit. Ayo cepat pergi,” teriak pemimpinnya. Mereka kemudian lari berhamburan. Bandung Bondowoso tak memusingkan hal itu, karena ia melihat candi-candi itu sudah berdiri dengan megah. “Loro Jonggrang pasti akan terpana melihat candi-candi ini” katanya sambil tersenyum puas.
“Lihat, candi yang kau minta sudah berdiri.” kata Bandung Bondowoso pada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang menjawab “Hamba harus menghitang jumlah candi ini. Betulkah semuanya berjumlah 1.000 buah?”
“Silakan,” jawab Bandung Bondowoso. “997, 998, 999, dan… jumlahnya kurang satu!” pekik Loro Jonggrang. “Tuan gagal memenuhi syarat yang hamba ajukan”.
“Tak mungkin! Aku melihat sendiri para jin membangun candi ini. Atau… jangan-jangan…?” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang dengan tajam. “Apa yang kau lakukan?” Loro Jonggrang ketakutan dan mundur selangkah. “Tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan aku. Jika aku menginginkan seribu candi, maka aku akan mendapatkan seribu candi!” teriak Bandung Bondowoso marah. “Ampun Tuanku… tapi hamba tidak salah. Jumlahnya memang kurang satu,” jawab Loro Jonggrang. Bandung Bondowoso menyeringai “Jika demikian, kau saja yang melengkapinya. Jadilah kau candi yang keseribu!”
Bandung Bondowoso memang sakti. Dalam sekejap, tubuh Loro Jong grang berubah menjadi patung batu. Patung batu itu melengkapi jumlah candi menjadi seribu buah. Keinginan Bandung Bondowoso untuk membuat seribu candi pun terpenuhi. Namun keinginannya untuk memperistri Loro Jonggrang sirna sudah. Ia tak mungkin memperistri patung.
Sampai sekarang, candi-candi tersebut masih berdiri dengan megah dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah. Orang sering menyebutnya dengan Candi Sewu.
Sedangkan patung Loro Jonggrang sendiri sering disebut dengan Arca Durga.
Pesan dari Dongeng Candi Prambanan – Cerita Rakyat Yogyakarta untukmu adalah jangan sombong walaupun memiliki kepandaian atau kekuatan. Semuanya itu belum tentu membuatmu bahagia
Asal-usul nama Kali Gajah Wong – cerita Rakyat dari Yogyakarta
Hari itu, Ki Sapa Wira bersiul riang. Seperti biasa, ia akan memandikan gajah milik junjungannya, Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram. Dengan hati-hati, Ki Sapa Wira menuntun gajah yang dinamai Kyai Dwipangga itu.
Mereka berjalan ke sungai yang terletak di dekat Keraton Mataram, dan mulailah ia memandikan gajah yang berasal dari negeri Siam itu.
“Nah, sekarang kau sudah bersih. Bulumu sudah mengkilat, sekarang ayo kembali ke kandangmu,” kata Ki Sapa Wira pada Kyai Dwipangga. Ki Sapa Wira memang memperlakukan Kyai Dwipangga seperti anaknya sendiri. Tak heran, Kyai Dwipangga amat patuh padanya.
Suatu hari, Ki Sapa Wira tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Ada bisul besar di ketiaknya, rasanya ngilu sekali. Badannya juga demam karena bisul itu. Ia meminta tolong pada adik iparnya, Ki Kerti Pejok, untuk menggantikannya memandikan Kyai Dwipangga. “Kerti, tolong aku ya. Aku benar-benar tak bisa bekerja hari ini,” kata Ki Sapa Wira.
“Tenang Kang, aku pasti akan membantumu. Tapi tolong beritahu, bagaimana caranya supaya gajah itu menurut padaku? Aku takut jika nanti ia malah marah dan menyerangku,” jawab Ki Kerti Pejok.
“Biasanya kalau ia mulai gelisah, pantatnya aku tepuk-tepuk, lalu aku tarik ekornya. Nanti ia akan kembali tenang dan berendam sendiri di sungai. Kau tinggal memandikannya,” jelas Ki Sapa Wira. Ki Kerti Pejok mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia lalu berangkat ke sungai untuk memandikan Kyai Dwipangga.
Sepanjang perjalanan, Ki Kerti Pejok mengajak Kyai Dwipangga mengobrol. Ia juga membawa buah-buahan sebagai bekal dalam perjalanan. “Gajah gendut, kau mau makan kelapa?” tanyanya sambil melemparkan sebutir kelapa pada Kyai Dwipangga. Kyai Dwipangga menangkap kelapa itu dengan belalainya. Dengan mudah ia memecah kelapa itu dan memakannya.
“Sekarang kau sudah kenyang, kan? Ayo jalan lagi,” kata Ki Kerti Pejok sambil memukul pantat Kyai Dwipangga.
Sesampainya di sungai, Ki Kerti Pejok melaksanakan tugasnya dengan mudah. Digosoknya seluruh bagian tubuh Kyai Dwipangga sampai bersih dan berkilat. Setelah itu mereka pulang ke keraton Mataram. “Kang, hari ini aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik. Apa besok Kakang masih memerlukan bantuanku?” tanya Ki Kerti Pejok pada Ki Sapa Wira.
“Jika kau tak keberatan, maukah kau memandikannya sekali lagi? Aku masih demam, sedangkan gajah itu harus dimandikan setiap hari,” jawab Ki Sapa Wira.
“Baik Kang, aku tidak keberatan. Toh gajah itu sangat penurut. Jadi, aku tak kesulitan saat memandikannya,” kata Ki Kerti Pejok.
“Terima kasih Kerti, lusa aku pasti sudah sembuh. Kau akan bebas dari tugas ini,” kata Ki Sapa Wira.
Keesokan harinya, Ki Kerti Pejok menjemput Kyai Dwipangga. Pagi itu hujan turun rintik-rintik, tapi sepertinya tak akan bertambah deras. Di sungai, Ki Kerti Pejok bimbang karena dilihatnya air sungai sedang surut.
“Wah, airnya dangkal sekali. Mana bisa gajah ini berendam? Aku sendiri saja tak bisa, apalagi gajah yang besar?” pikirnya dalam hati.
“Gajah gendut, kita cari sungai yang lain saja. Sungai ini dangkal, kau tak akan bisa berendam di sini.”
Ki Kerti Pejok menuntun Kyai Dwipangga ke hilir sungai. Di situ air tampaknya tinggi dan aliran juga cukup deras. “Nah, di sini sepertinya lebih asyik. Ayo, sana masuk, berendamlah. Aku akan menggosok punggungmu dengan daun kelapa ini,” kata Ki Kerti Pejok sambil memukul pantat Kyai Dwipangga. Sambil memandikan Kyai Dwipangga, Ki Kerti Pejok berpikir,
“Sebaiknya aku beritahu Kakang untuk memandikan gajahnya di sini. Disini airnya lebih dalam, arusnya juga cukup deras. Aneh, kok selama ini Kanjeng Sultan Agung tak tahu keberadaan sungai ini, ya?”
Saat ia sibuk berbicara sendiri, tiba-tiba dari arah hulu datanglah banjir bandang yang sangat besar. Banjir itu datang dengan sangat cepat. Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga bahkan tak menyadarinya.
Dalam sekejap, mereka terhempas dan terbawa arus. “Tolong…tolonggg…,” teriak Ki Kerti Pejok. Tapi tak ada yang mendengar. Sungguh menyedihkan nasib Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga. Mereka terseret arus dan hanyut sampai ke Laut Selatan.
Sungguh sangat disayangkan, mereka binasa dalam keganasan banjir bandang itu. Ki Kerti Pejok tak tahu bahwa selama ini Sultan Agung memang melarang para abdinya memandikan gajah di hilir sungai. Karena ia tahu bahaya bisa datang sewaktu-waktu di sana. Ki Sapa Wira berduka. Ia sangat sedih karena kehilangan adik ipar dan gajah kesayangannya.
Untuk mengenang kejadian itu, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong. Kali berarti sungai, gajah wong berarti gajah dan orang. Kali Gajah Wong ini terletak di sebelah timur Kota Yogyakarta.
Pesan dari Asal-usul nama Kali Gajah Wong – Cerita Rakyat Yogyakarta untukmu adalah Waspadalah dalam bertindak. Jangan segan bertanya sebelum melakukan sesuatu.
Jika kalian menyukai dongeng candi prambanan maka kalian jangan lewatkan posting kami sebelumnya yaitu Cerita Rakyat Indonesia Paling Populer Dari Pulau Jawa