Ada banyak cerita rakyat dari Jawa Tengah yang sampai saat ini masih sering diperdengarkan sebagai kisah turun temurun. Salah satunya adalah cerita rakyat Rawa Pening. Banyak orang percaya kalau cerita rakyat Rawa Pening ini merupakan kisah nyata yang pernah terjadi puluhan tahun silam.
Kisahnya seperti apa dan apakah pesan atau nilai moral yang bisa diambil dari cerita rakyat Rawa Pening? Di sini kita akan membahasnya!
Cerita Rakyat Rawa Pening
Dahulu kala terdapat sebuah desa bernama desa Ngasem. Desa ini terletak di sebuah lembah antara Gunung Merbabu dengan Telomoyo. Di sana bermukim sepasang suami istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.
Pasangan suami istri ini dikenal sebagai pribadi yang suka menolong dan murah hati. Oleh sebab itu mereka sangat dihormati masyarakat sekitar. Hanya saja hidup mereka belum lengkap karena mereka masih tak kunjung dikaruniai anak.
Sampai suatu hari, Nyai Selakanta terlihat duduk termenung di depan rumahnya seorang diri. Melihat hal tersebut, Ki Hajar kemudian menghampiri istrinya tersebut dan mengambil tempat duduk di samping sang istri.
Saat itu, Nyai Selakanta lantas menyampaikan keinginannya kepada sang suami. Ia sangat ingin memiliki anak. Ia sampai meneteskan air mata ketika menyampaikan keinginannya tersebut kepada sang suami.
Ki Hajar yang mendengar keluhan istrinya itu kemudian meminta izin kepada sang istri untuk bertapa. Barangkali dari bertapa, dirinya akan mendapat wangsit. Keesokan harinya, Ki Hajar berangkat ke lereng Gunung Telemoyo untuk mulai pertapaannya.
Selama bertapa, Nyai Selakanta menunggu sang suami dengan sabar. Hanya saja, bulan demi bulan sudah terlewati dan sang suami tak kunjung pulang. Hingga suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan muntah.
Ia berpikir bahwa dirinya sedang hamil dan ternyata apa yang dipikirannya tersebut benar. Semakin hari perutnya semakin membesar hingga tiba waktunya ia melahirkan. Hanya saja ketika melahirkan, Nyai Selakanta sangat terkejut karena yang dilahirkan adalah seekor naga.
Anak itu kemudian dinamai Baru Klinthing yang diambil dari nama tombak milik suaminya. Nama Baru berasal dari bra yang artinya keturunan Brahmana. Brahmana ini merupakan seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara nama Klinthing berarti lonceng.
Meski berwujud seekor naga, namun Baru Klinthing juga dapat berbicara selayaknya manusia. Namun di sisi lain Nyai Selakanta juga merasa malu karena melahirkan seekor naga. Akhirnya ia berniat membawa Baru Klinthing ke Bukit Tugur yang jauh dari pemukiman warga.
Namun sebelum rencananya tersebut dilakukan, Nyai Selakanta harus merawat Baru Klinthing sampai agak besar dulu agar perjalanan jauh bisa ditempuh. Tiba suatu hari ketika Baru Klinthing sudah menginjak masa remaja. Ia bertanya tentang sang ayah.
Nyai Selakanta kaget namun ia juga berpikir sang anak perlu tahu perihal sang ayah. Ia kemudian menyuruh Baru Klinthing menyusul sang ayah yang sedang bertapa di lereng Gunung Telemoyo. Nyai Selakanta juga meminta agar Baru Klinthing ke sana sembari membawa pusaka tombak bernama Baru Klinthing milik ayahnya.
Baru Klinthing pun berangkat ke lereng Gunung Telemoyo membawa pusaka tersebut. Di sana ia melihat seorang laki – laki bersemedi. Baru Klinthing langsung bersujud di hadapan sang ayah. Awalnya Ki Hajar tak percaya dia adalah anaknya namun melihat tombak pusaka yang dibawa Baru Klinthing akhirnya Ki Hajar pun percaya bahwa naga tersebut adalah anaknya.
Namun Ki Hajar juga butuh bukti dan memberikan Baru Klinthing tugas. Ki Hajar berkata, “Baik, aku percaya jika kamu anakku. Namun tombak pusaka yang kamu bawa belum cukup sebagai bukti bagiku. Kalau kamu memang benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telemoyo ini!”
Baru Klinthing pun melakukan tugas ayahnya dengan menggunakan kesaktian yang dimiliki. Akhirnya Ki Hajar pun percaya dan mengakui sang anak. Ia kemudian memerintahkan sang anak bertapa di Bukit Tugur agar tubuhnya berubah menjadi manusia sepenuhnya.
Di sisi lain, ada sebuah desa bernama Pathok. Desa Pathok sangat Makmur hanya saja penduduk desanya sangat angkuh. Suatu hari, penduduk desa yang angkuh itu bermaksud mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen.
Pesta tersebut juga menampilkan berbagai pertunjukan seni dan tari. Beragam jamuan lezat pun rencananya akan dihidangkan. Untuk mempersiapkan pesta, warga pun beramai – ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Hanya saja tak ada satu binatang pun tertangkap. Namun ketika hendak kembali ke desa, mereka melihat seekor naga bertapa. Nah, Naga yang bertapa tersebut adalah Baru Klinthing. Warga desa pun beramai – ramai menangkap dan memotong daging naga tersebut.
Daging naga pun dimasak untuk dijadikan hidangan pesta. Ketika pesta dimulai dengan aneka hidangan yang dibuat termasuk daging naga, ada seorang anak laki – laki dengan tubuh penuh darah dan berbau amis mendekat.
Nah, anak laki – laki tersebut merupakan jelmaan Baru Klinthing yang wujud naganya sudah dipotong – potong oleh warga. Baru Klinthing dalam wujud anak laki – laki penuh darah meminta bagian makanan kepada warga namun diusir begitu saja.
Dia pun meninggalkan desa. Kemudian di tengah perjalanan, ia bertemu janda tua bernama Nyi Latung. Nyi Latung yang baik hati pun mengajak Baru Klinthing datang ke rumahnya dan memakan makanan di rumahnya saja.
Di tengah perbincangan, Baru Klinthing meminta Nyi Latung membantunya memberi pelajaran bagi warga. Nyi Latung diminta jika mendengar suara gemuruh agar menyiapkan alat menumbuk padi dari kayu.
Setelah makan di rumah Nyi Latung, Baru Klinthing kembali ke pesta warga membawa sebatang lidi. Tiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi ke tanah. Ia meminta warga mencabut lidi yang ditancapkan itu.
Beramai – ramai warga mencabut lidi namun tak ada satu orang pun yang berhasil. Sementara dengan kesaktian yang dimiliki, Baru Klinthing bisa mencabut lidi itu dengan mudah. Begitu lidi tercabut, suara gemuruh terdengar.
Dari bekas lidi yang tertancap itu, air pun keluar hingga semakin lama terjadi banjir besar dan penduduk langsung menyelamatkan diri. Hanya saja air dengan cepat memporak porandakan desa hingga membuat semua warga tenggelam dan desa tersebut berubah menjadi sebuah rawa yang sekarang dikenal sebagai Rawa Pening.
Mengapa cerita rakyat Rawa Pening dipercaya?
Cerita rakyat ini dipercaya merupakan kisah yang benar – benar terjadi karena memang ada danaunya di Semarang. Jadi ada sebuah danau di Semarang yang bernama Rawa Pening. Disanalah konon cerita rakyat ini berasal.
Selain cerita rakyat Rawa Pening, ada cerita rakyat lain yang terkenal dari Jawa Tengah. Cerita rakyat ini juga dipercaya karena ada bukti peninggalan sejarahnya yaitu Candi Roro Jonggrang atau Candi Prambanan. Baca : Cerita Rakyat Roro Jonggrang Dibalik Legenda Candi Prambanan
Cerita rakyat Jawa Tengah lainnya, baca : Daftar Cerita Rakyat dari Jawa Tengah
Itulah sedikit informasi yang kami dapat sampaikan terkait cerita rakyat Rawa Pening yang melegenda. Semoga cerita rakyat di atas dapat menjadi cerita yang memberikan banyak inspirasi dan pesan untuk pembaca.