Cerita Dongeng Nusantara : Legenda Batu Rantai

Sama seperti dua cerita dongeng nusantara sebelumnya yaitu Cerita Dongeng Nusantara – Legenda Pulau Si Janggoi dan Cerita Daerah Nusantara – Punai Anai. Cerita kali inipun berasal dari Kepulauan Riau. Cerita rakyat ini akan memperkaya si kecil dengan imajinasi.

Cerita Dongeng Nusantara : Legenda Asal Mula Batu Rantai

Tersebutlah seorang raja yang memerintah Kerajaan Tumasik. Paduka Seri Maharaja begitu biasa sang Raja Tumasik itu disebut.

Paduka Seri Maharaja clikenal buruk sifat dan perangainya. Ia kejam dan sewenang-wenang. Selain itu ia juga sangat tamak dan iri hati.

Syandan, negeri Tumasik mendapatkan musibah. Secara tak terduga, ratusan ribu ikan todak datang menyerang warga. Tidak hanya mereka yang tinggal di pantai saja, warga yang tinggal di daerah pedalaman pun tak luput dari serangan ikan berparuh panjang yang runcing lagi tajam itu. Banyak rakyat yang menjadi korban keganasan ikan todak.

Mendapati keganasan ikan todak, Paduka Seri Maharaja lantas memerintahkan agar rakyat berpagar betis untuk menghadapi serangan ikan todak. Namun, usaha itu pun tidak membuahkan basil. Ikan-ikan todak terus mengamuk dan meningkatkan serangan hingga kian banyak rakyat yang menjadi korban.

Cerita Dongeng Nusantara   Legenda Batu Rantai
Cerita Dongeng Nusantara Legenda Batu Rantai

Dalam keadaan bingung dan resah, seorang anak lelaki kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja dan dengan lantang berujar, “Ampun Baginda Raja, sia-sia saja rakyat Paduka minta berpagar betis. Semua itu tidak akan dapat menghentikan serangan ikan-ikan todak. Sebaliknya, rakyat akan semakin banyak menjadi korban.”

Paduka Seri Maharaja amat murka mendengar ucapan si anak lelaki. “Engkau pikir siapa engkau ini, hei budak, hingga berani-beraninya engkau memberikan nasihat kepadaku?”

“Nama hamba Kabil, Baginda Raja. Hamba berasal dari Bintan Penaungan. Hamba sangat mengenal perilaku ikan todak itu. Serangan ikan todak tidak akan dapat dihentikan dengan betis manusia. Hanya dengan batang-batang pisang saja ikan-ikan todak itu dapat dilumpuhkan.”

Meski sebenarnya sangat jengkel dengan keberadaan Kabil, Paduka Seri Maharaja menuruti pula saran Kabil itu. Ia tidak mempunyai pilihan Iain. Ia lantas memerintahkan pemagaran daerah Tumasik dengan batang-batang pisang.

Segenap rakyat bersatu padu menebang pohon-pohon pisang dan menjajarkannya hingga menyerupai pagar. Rakyat bekerja keras serasa tidak membiarkan waktu berlalu selain membentengi daerah mereka dengan batang-batang pisang. Negeri Tumasik kemudian laksana berubah menjadi negeri berpagar batang pisang.

Benarlah saran Kabil. Dengan pagar batang pisang yang rapat, serangan ikan-ikan todak itu berhasil ditanggulangi. Amat banyak ikan todak yang tersangkut pada batang pisang. Paruh mereka yang runcing lagi tajam menghujam ke batang-batang pisang. Mereka menjadi tak berdaya. Rakyat lantas menangkap dan memotong ikan-ikan todak. Ketika mereka mengetahui daging ikan todak ternyata lezat rasanya, rakyat pun berebut menangkap ikan-ikan todak dan memasaknya.

Rakyat bersuka cita setelah berhasil menanggulangi serangan ikan-ikan todak. Bahkan, mereka bersyukur pula pada akhirnya karena tidak perlu bersusah payah mencari lauk untuk makan karena serasa tinggal mengambil ikan-ikan todak yang tersangkut di batang-batang pisang.

Jika rakyat merasa suka cita dan berbahagia, tidaklah demikian dengan para pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik. Mereka sangat khawatir jika rakyat akhirnya mendukung Kabil dan mendepak Paduka Seri Maharaja dari takhta. Jika itu yang terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik pun menjadi terancam. Mereka lantas menghadap Paduka Seri Maharaja dan mengungkapkan kekhawatiran itu.

“Kekhawatiran kalian seperti itu terbersit pula di hatiku. Kita memang seharusnya menyingkirkan Kabil dari Tumasik agar pengaruhnya tidak meluas;” ujar Paduka Seri Maharaja. “Namun, kita perlu berhati-hati melaksanakannya. Kabil itu anak yang cerdas. Jika kita mengusirnya, niscaya ia akan kembali. Bisa jadi ia kemudian akan menggalang kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaanku.”

“Ampun Baginda Raja, lantas tindakan apa yang sebaiknya kita lakukan?” tanya salah seorang pembesar istana Kerajaan Tumasik.

Paduka Seri Maharaja sejenak merenung sebelum akhirnya memberikan perintah kejamnya, “Tangkap Kabil. Lilitkan rantai besi pada seluruh tubuhnya dan kemudian masukkan ia ke dalam kurungan baja. Tenggelamkan ia dalam laut. Dengan cara itu, maka Kabil akan menemui kematiannya dan kekhawatiran kita tidak menjadi kenyataan:”

Perintah kejam Paduka Seri Maharaja pun dilaksanakan. Para prajurit Kerajaan Tumasik menangkap Kabil. Tubuh Kabil diikat dengan rantai besi dan kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang terbuat dari baja. Kurungan itu lantas dibawa menuju perairan Pulau Segantang Lada untuk ditenggelamkan.

Sebelum ditenggelamkan, Kabil masih sempat berujar kepada Paduka Seri Maharaja, “Beginikah cara Baginda Raja membalas saran kebaikan yang hamba berikan? Bukankah Serangan ganas ikan-ikan todak itu bisa ditanggulangi karena Baginda Raja menuruti saran hamba? Bukankah rakyat Tumasik terbebas dari bencana mengerikan yang diakibatkan ikan-ikan todak itu? Lantas, mengapa hamba diperlakukan begitu buruk seperti ini? Apa kesalahan hamba? Sungguh, hamba belum merasa rela hati mati muda dengan cara seperti ini!”

Paduka Seri Maharaja tidak mempedulikan ucapan Kabil. Ia tetap memerintahkan agar kurungan baja tempat mengurung Kabil itu ditenggelamkan ke dalam laut.

Kurungan baja itu tenggelam di karang Kepala Sambu. Kabil pun menemui kematiannya secara mengenaskan. Sarannya yang menghindarkan beribu-ribu rakyat Tumasik dari kematian akibat ganasnya serangan ikan-ikan todak tidak dihargai.

Bukan penghargaan atau ucapan terima kasih yang diterima anak lelaki cerdas itu, melainkan kematian!

Setelah kurungan baja berisi tubuh Kabil itu ditenggelamkan, air di sekitar tempat itu mendadak berpusar-pusar dengan keras laksana tengah meronta-ronta. Begitu kerasnya pusaran air laut itu hingga para nakhoda senantiasa menghindari kapal yang mereka nakhodai itu melintas di sekitar perairan kepulauan Sambu itu. Penduduk pun menamakan tempat ditenggelamkannya Kabil itu dengan nama Batu Rantai.

Pesan moral dari cerita dongeng nusantara : legenda batu rantai adalah iri, tamak, dan gila kekuasaan akan menutup dan berusaha membungkam kebenaran. orang yang tamak dan gila kekuasaan akan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan yang dikehendakinya.

Tinggalkan Balasan