Banyak sekali dongeng cerita rakyat Indonesia merupakan dongeng fabel. Ketika kakak kecil kakak sering kali diceritakan dongeng tentang kancil yang cerdik dan juga kura-kura. Kalian dapat menemukan berbagai fabel menarik di blog ini dengan memilih kategori fabel. Kali ini kakak akan bercerita mengenai cerita anak buaya. Mudah-mudahan kalian menyukainya.
Fabel Cerita Anak Buaya dan Monyet
Tersebutlah seekor anak buaya yang sangat malas. Kerjanya setiap hari hanya tidur dan bermain-main. Ia tidak bisa berburu makanan sendiri. Setiap kali diajak berburu makanan oleh bapak dan ibunya, ia tidak pernah mau. Selama ini ia hanya makan makanan yang dibawakan oleh orangtuanya.
“Kau harus ikut berburu makanan supaya nanti kau bisa mencari makanan sendiri, Nak,” bujuk sang ibu kepada anak buaya suatu ketika. “Kalau kau tidak bisa berburu makanan sendiri, maka kelak kau akan kesulitan.”
“Tapi hari ini aku ada janji bermain dengan temanku, Bu!” jawab anak buaya. “Lain kali aku akan ikut. Tapi sekarang cukup ibu dan ayah dulu yang mencari makanan, ya!” anak buaya lantas pergi begitu saja. Kedua orangtuanya cuma bisa mengelus dada, prihatin.
Suatu ketika, ibu buaya sakit, padahal suaminya sedang pergi untuk suatu keperluan dan baru akan kembali 2 hari lagi. Ibu buaya cuma bisa berdiam diri di rumah saja. Ia tidak cukup kuat untuk keluar rumah dan berburu makanan. Meski begitu, ia dan anaknya masih bisa makan karena di rumahnya masih ada persediaan makanan dalam jumlah yang cukup banyak.
Saat sedang sakit begitu, ibu buaya ingin sekali makan hati monyet. Maka ia pun menyuruh anaknya untuk berburu.
“Tolong carikan ibu hati monyet, Nak,” pinta ibu buaya kepada anaknya. “Ibu ingin sekali memakannya. Seandainya tubuh ibu cukup kuat, pasti ibu akan mencarinya sendiri dan tidak akan meminta bantuanmu.”
“Ha… hati monyet?”
“Ya, hati monyet,” jawab ibunya. “Kau bisa mencarinya di sebuah pohon besar dekat telaga. Ada beberapa monyet yang senang bermain-main di pohon itu.”
Anak buaya mengangguk-angguk. Sebenarnya ia tidak tahu bagaimana cara berburu monyet dan mendapatkan hatinya. Namun, ia bertekad untuk mencobanya. Ia tidak tega menolak keinginan ibunya yang sedang sakit itu. Dalam hati, ia merasa menyesal karena tidak pernah mau diajak berburu oleh ayah dan ibunya. Akibatnya, ia jadi tidak bisa mencari makanan sendiri.
Maka berangkatlah anak buaya menuju pohon besar dekat telaga. Di sana ada seekor monyet yang sedang asyik bersantai. Si anak buaya bersembunyi di balik batu sambil mengamati monyet itu. Ia berpikir dan mencari akal untuk menjebak monyet tersebut.
“Aha, aku punya ide!” si anak buaya berteriak dalam hati. Ia keluar dari balik batu, lalu pergi ke pinggir telaga, mendekati pohon tempat monyet bersantai.
“Hai monyet!” sapa anak buaya. Si monyet menoleh ke bawah. Ia merasa heran ada seekor buaya yang menyapanya dengan ramah.
“Tahukah kau bahwa di seberang telaga ini ada pulau kecil yang ditumbuhi pohon yang sangat lebat buahnya?” tanya anak buaya dengan nada yang riang. “Dulu aku pernah memakan buah-buah dari pohon itu, dan rasanya benar-benar lezat!”
“Wah, benarkah?” tanya Monyet, penasaran. Kebetulan saat itu ia agak lapar sehingga tertarik dengan apa yang diucapkan oleh anak buaya. Si monyet kelihatan bersemangat.
“Tentu saja! Kalau kau mau, aku bisa membawamu ke sana. Kau tinggal naik ke atas punggungku, dan aku akan menyeberangkanmu. Rasanya seperti naik perahu,” tawar anak buaya.
“Tapi kenapa tiba-tiba kau mengajakku ke sana?” monyet agak curiga.
Anak buaya agak gelagapan. Ia tak menyangka bahwa monyet akan curiga. Namun, ia cepat-cepat menenangkan diri, lalu berkilah, “Aku ingin makan buah yang langsung dipetik dari pohonnya. Selama ini aku cuma bisa makan buah yang sudah jatuh saja. Karena itu, aku minta tolong kamu memetikkan beberapa buah untukku di kebun itu. Sementara kamu nanti bisa memetik buah sebanyak-banyaknya untuk dirimu sendiri.”
Si monyet mengangguk-angguk paham. Ia merasa tertarik dengan tawaran anak buaya. Maka ia pun segera turun dari pohon, lalu menghampiri anak buaya.
“Naiklah ke punggungku!” seru anak buaya.
Si monyet Iangsung melompat ke atas punggung buaya dengan tangkasnya. Kemudian anak buaya pun mulai berenang ke seberang telaga dengan membawa monyet di atas punggungnya.
“Horeee! Ternyata asyik juga ya menyeberang telaga dengan menaiki punggung buaya,” seru monyet, girang. Dalam hati, anak buaya juga merasa girang, sebab rencananya sejauh itu cukup berjalan lancar.
Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di tengah telaga. “Nah, inilah saat yang tepat untuk membunuh monyet,” batin anak buaya sambil tersenyum licik. Ia kemudian menyelam dengan maksud menenggelamkan si monyet.
“Ja… jangaaan!” seru monyet. Ia buru-buru mengambil napas panjang, lalu menahannya. Dan kemudian, “blep… blep… blep…,” masuklah mereka berdua ke dalam air. Monyet berpegangan erat ke tubuh anak buaya sambil tetap menahan napas.
Setelah mengira-ngira bahwa monyet sudah mati, anak buaya lantas kembali ke permukaan air. Tapi, rupanya monyet masih hidup. Monyet terengah-engah. Ia berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya supaya napasnya teratur lagi.
“Kenapa kau tadi berbuat begitu? Aku hampir saja mati tenggelam,” kata monyet dengan napas tersengal-sengal.
“Aku memang bermaksud membunuhmu,” jawab anak buaya yang polos itu. “Aku hendak mengambil hatimu, sebab saat ini ibuku ingin sekali makan hati monyet.”
Si monyet tercengang. Ia tidak menyangka bahwa rupanya anak buaya hendak berbuat jahat. Kini keselamatannya begitu terancam. Ia sedang berada di tengah telaga di atas punggung buaya. Dalam kondisi seperti itu, sulit rasanya menyelamatkan diri. Tapi, ia punya ide cemerlang.
“Aduh, kenapa kau tidak bilang dari tadi?!” seru si monyet kepada anak buaya.
“Apa maksudmu?” anak buaya merasa bingung.
“Ya, tadi kau bilang bahwa kau hendak mengambil hatiku. Seharusnya kau bilang dari tadi, sebab saat ini aku tidak membawa hatiku. Aku meninggalkannya di rumahku.”
“Wah, percuma aku membawamu ke sini!” seru anak buaya, setengah menyesal. “Aku tidak menyangka bahwa kamu tidak membawa hatimu. Kalau begitu, ayo aku antarkan ke pohon yang tadi. Setelah itu ambilkan hatimu dan serahkanlah kepadaku.”
“Baiklah,” jawab si monyet. Kemudian anak buaya segera berbalik arah. Ia hendak mengantarkan monyet ke tempat sebelumnya. Ia berenang dengan cepat karena ingin segera mendapatkan apa yang ia incar, yakni hati monyet.
“Tak kusangka, ternyata cukup mudah juga memperdaya anak buaya ini. Ternyata ia sangat bodoh,” batin monyet sambil cekikikan di dalam hati.
Dalam waktu singkat, sampailah mereka di daratan. Tanpa membuang waktu lagi, monyet segera melompat dari tubuh buaya, lalu memanjat pohon besar di dekat situ dengan gesit. Di atas pohon, ia tertawa terbahak-bahak.
“Hai anak buaya, lain kali berpikirlah yang benar!” seru monyet sambil menertawakan si anak buaya. “Mana mungkin aku tidak membawa hatiku? Hahaha…. Berkat kebodohanmu, aku jadi bisa menyelamatkan diri, hahaha….”
Si anak buaya cuma bisa melongo. “Benar juga, ya. Tidak mungkin monyet meninggalkan hatinya di rumah,” anak buaya baru menyadari kebodohannya. Ia merasa sangat menyesal karena pikirannya begitu pendek. Maksud hati ingin mengelabui monyet, malah ia sendiri yang diperdaya sehingga gagal mendapatkan apa yang ia inginkan.
Hikmah dari Dongeng Fabel Cerita Anak Buaya adalah
Cerita ini kembali menunjukkan bahwa kebodohan merupakan sesuatu yang sangat merugikan. Karena itu, kita harus rajin belajar supaya pintar. Orang yang pintar akan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan, dan tidak akan mudah ditipu oleh orang lain.
Baca dongeng buaya dan fabel lainnya pada posting kakak sebelumnya yaitu cerita hewan singkat