Berbagai versi dari cerita rakyat Malin Kundang pernah kami posting di blog ini. Antara satu versi dengan versi lainnya memiliki kesamaan cerita, namun ada perbedaan pada detailnya. Pada posting kali ini kami merangkum semua versi dongeng rakyat ini menjadi satu kesatuan. Semoga dapat menjawab keingintahuan adik-adik yang sedang mencari informasi mengenai Malin Kundang.
Berbagai Versi Cerita Rakyat Malin Kundang.
Yuk kita baca bersama-sama legenda Sumater Barat paling terkenal ini.
Versi 1 : Legenda Cerita Malin Kundang
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-laki, di perkampungan Pantai Air Manis, Padang Sumatera Barat.
Perempuan itu bernama Mande Rubayah, sedangkan anak laki-lakinya bernama Malin Kundang. Sejak kanak-kanak, Malin Kundang sudah ditinggal mati ayahnya. Pada saat Malin menginjak dewasa, ada kapal besar berlabuh di Pantai Air Manis. Kedatangan kapal tersebut meneguhkan hatinya untuk 3pergi merantau.
“Bu, saya ingin mencari kerja, merantau ke negeri orang,” kata Malin dengan suara lirih. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya akan mencari kerja agar nasib kita berubah dan terbebas dari kemiskinan.” Meski dengan berat hati, akhirnya Mande Rubayah pun mengizinkan anaknya pergi.
Hari berganti, bulan berjalan, dan tahun berbilang, Malin telah pergi meninggalkan kampungnya tanpa pernah memberi kabar kepada ibunya.
Pada suatu hari, sebuah kapal besar berlabuh di pantai Air Manis. Melihat hal itu, Mande Rubayah ikut berdesakan mendekati kapal tersebut. Ia sangat yakin bahwa lelaki muda itu adalah Malin Kundang. Tanpa canggung, ia langsung memeluk Malin erat-erat, seolah takut kehilangan anaknya lagi. Lalu ia pun menyapa Malin dengan suara serak, karena menahan tangis bahagia.
“Malin, anakku, mengapa begitu lamanya kau meninggalkan ibu?” Malin terpana karena ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya.
Sebelum sempat berpikir, istrinya yang cantik itu berkata,”Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?” Lalu dia berkata lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajat dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita tua itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah berkata lagi,
“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!” Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya.
“Hai, Perempuan tua! Ibuku tidak sepertimu, engkau tampak sangat miskin dan kotor!” kata si Malin sambil mendorong wanita tua itu hingga terkapar pingsan.
Ketika Mande Rubayah sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Di laut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk.
Tangannya ditengadahkan ke langit. Ia kemudian berseru, “Ya Allah, Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang benar dia anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu.”
Tidak lama kemudian, cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba datanglah badai besar menghantam kapal Malin Kundang. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terempas ombak hingga ke pantai.
Keesokan harinya, di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu, itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu, nampaklah sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon, itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang terkena kutukan ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu, berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri.
Konon, ikan ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang
Pesan moral dari Legenda Cerita Malin Kundang Asli adalah Kisah Malin Kundang merupakan kisah seorang anak yang durhaka kepada ibu kandungnya. Ia dilupakan oleh harta benda yang didapatnya sehingga ia dikutuk menjadi batu.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Legenda Cerita Malin Kundang Asli Sumatera Barat Indonesia
Versi 2 : Cerita Rakyat Malin Kundang Singkat
Di sebuah desa, hiduplah seorang perempuan miskin. Ia hidup bersama anak tunggalnya, namanya Malin Kundang. Sehari-hari perempuan itu bekerja sebagai nelayan. Namun, penghasilannya tak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari sehingga hidup mereka selalu berkekurangan.
Saat Malin Kundang mulai dewasa, ia memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya di sana.
“Barangkali dengan pergi ke kota, aku bisa mengubah nasib kita, Ibu,” ucap Malin Kundang.
Dengan berat hati, ibunya pun mengizinkan. Kini, ibunya kembali menjadi perempuan tua yang kesepian. Setelah kepergian Malin, ibunya selalu memikirkan keadaan anaknya itu. Ia jadi sakit-sakitan, sementara Malin tak pernah mengirim kabar untuknya.
Hingga beberapa tahun kemudian, Malin berhasil mengubah nasib. Ia telah menjadi saudagar yang kaya raya. Malin memiliki banyal kapal. Hidup Malin tak lagi susah. Malin juga menikahi seorang perempuan bangsawan yang sangat cantik.
Suatu hari, Malin ingin melihat keadaan desanya. Sudah lama sekali ia tak pulang. Malin pergi bersama istri dan banyak pekerjanya. Ia juga membawa banyak uang untuk dibagi-bagikan kepada para penduduk.
Sampailah Malin di desanya. Dengan sombong ia membagikan uang kepada penduduk. Penduduk di desanya sangat senang. Di antara mereka ada yang mengenali Malin, yakni tetangganya sendiri. Orang itu pun segera pergi ke rumah Malin, hendak memberikan kabar gembira tersebut kepada ibu Malin.
“Ibu, apakah kau sudah tahu, anakmu Malin sekarang telah menjadi orang kaya.” seru tetangga itu.
“Dari mana kau tahu itu? Selama ini aku tak pernah mendapat kabar darinya,” ucap ibu Malin, terkejut.
“Sekarang pergilah ke dermaga. Anakmu Malin ada di sana. Dia terlihat sangat tampan, dan istrinya juga sangat rupawan,” ucap tetangganya.
Ibu Malin tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, ia sangat merindukan anaknya selama beberapa tahun ini. Maka ia pun segera berlari menuju dermaga. Benar saja, di sana terlihat Malin dengan istrinya yang sangat rupawan.
“Malin, kau pulang, Nak,” seru ibunya.
Malin mengenali ibunya. Namun, ia malu mengakui orangtua yang berpakaian sangat lusuh itu. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada istrinya tentang semua ini?
“Kau bilang ibumu sudah meninggal. Apa benar orangtua ini adalah ibumu?” tanya istri Malin, bingung.
“Dia bukan ibuku, dia pengemis yang mengaku-ngaku sebagai ibuku.” seru Malin.
Sungguh sakit hati Ibunya mendengar perkataan Malin. Ibunya lalu mengutuk Malin.
“Hatimu sungguh sekeras batu, Malin. Maka, kau aku kutuk menjadi batu. Kau anak yang durhaka.” ucap ibunya.
Malin ketakutan. Ia memohon ampun kepada ibunya. Namun, ibunya sudah sangat sakit hati. Seketika hujan turun sangat lebat, dan petir menyambar. Saat itu pula Malin berubah menjadi batu.
Pesan moral dari Cerita Malin Kundang Singkat (Indonesia) adalah surga ada di bawah telapak kaki ibu. Sayangilah ibumu, karena ibumu adalah manusia paling berjasa dalam hidupmu.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Cerita Malin Kundang Singkat – Dongeng Legenda Sumatera Barat
Versi 3 : Cerita Rakyat Indonesia Si Anak Durhaka
Di sebuah desa di Sumatra Barat, seorang ibu hidup dengan anaknya yang bernama Malin. Anak tersebut nakal, tetapi cerdas. Bekas luka di punggung tangan kanan Malin Kundang menjadi pertanda bagi ibunya.
Suatu hari, Malin meminta izin kepada ibunya untuk merantau. la berjanji kepada ibunya untuk kembali jika telah menjadi pedagang yang kaya raya. Ibunya tentu saja tidak mengizinkannya.
Ibunya teringat sang suami yang tidak pernah kembali setelah pergi merantau. Namun, Malin berusaha meyakinkan sang ibu yang akhirnya rela melepaskan kepergian anaknya.
Malin Kundang merantau dengan menumpang sebuah kapal milik saudagar kaya raya. Selama di atas kapal itu, Malin belajar banyak kepada para awak kapal.
Sampailah Malin di pulau yang sangat subur. Ia bekerja pada saudagar di sana. la pun menetap dan bekerja di sana. Malin sangat rajin, sehingga la diangkat menjadi pekerja kesayangan. Saudagar itu pun menikahkan anaknya dengan Malin. Malin pun menjadi orang yang kaya raya.
Suatu hari, Malin dan rombongannya pergi berlayar ke kampung halamannya. Ibu Malin sangat gembira ketika melihat sebuah kapal besar bersandar di dermaga. la melihat sepasang suami istri berpakaian mewah berdiri di geladak kapal. la yakin bahwa pemuda itu adalah anaknya, karena melihat bekas luka di punggung tangan sang pemuda.
“Malin Kundang, Anakku, kau pulang! Kenapa sangat lama kau baru kembali, Nak?” seru sang ibu yang memeluk Malin.
Malin sangat terkejut melihat seorang perempuan tua lusuh tiba-tiba memeiuknya. Dilepaskannya rangkulan perempuan itu dengan kasar. Sang istri bertanya siapakah perempuan lusuh tersebut.
Dengan angkuhnya Malin menjawab, “Entahlah, Dik. Kanda rasa ia adalah oang gila yang mengaku-ngaku sebagai ibuku”. Sebenarnya, Malin tahu bahwa perempuan itu adalah ibunya. Namun, ia sangat malu mengakui hal itu di depan istri dan anak buahnya.
Ibu Malin sangat terluka. la tidak menyangka anaknya tega berlaku kasar dan tak mengakuinya sebagai ibu. la sangat sedih hingga terucap, “Jika ternyata benar kau adalah Malin anakku, biarlah kau menjadi batu!”,
Malin Kundang justru tertawa mendengar ucapan ibu tua itu. la segera memerintahkan awak kapal untuk meninggalkan dermaga. Namun, ketika kapal besar itu mulai meninggalkan dermaga, tiba-tiba datanglah badai yang dahsyat. Badai itu menghantam kapal Malin hingga hancur. Di tengah kepanikan, tubuh Malin Kundang menjadi kaku dan mengeras menjadi sebuah batu.
Sampai kini, batu Malin Kundang masih dapat diiihat di Pantai Ala Manih (Air Manis), di Sumatra Barat.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Indonesia Malin Kundang adalah kita harus selalu menyayangi dan menghormati orangtua agar hidup kita dipenuhi kebaikan.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Cerita Rakyat Indonesia Malin Kundang
Versi 4 : Legenda Malin Kundang – Cerita Rakyat Sumbar
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda dengan satu orang anak bernama Malin Kundang. Ayahnya sudah lama meninggalkannya dan tidak pernah kembali. Ibunyalah yang mengambil tanggung jawab mencari nafkah untuk kehidupan sehari-harinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari daun dan pelepah nipah, Pakaian mereka pun compang-camping.
Malin Kundang sebenarnya anak yang cerdas dan tampan. Namun, badannya kurus kering karena kekurangan makan. Dan terlihat sangat kusam dan jelek di pandang. Malin Kundang memiliki bekas luka di lengan yang cukup besar. Ia mendapatkan bekas luka tersebut karena sedang bermain megejar Ayam milik tetangga, dan kakinya tersandung batu.
Waktu sangat cepat berlalu, kini Malin Kundang sudah dewasa dan menjadi laki-laki yang gagah. Ia sangat kasihan kepada ibunya, setiap hari harus membanting tulang untuk mengidupi kebutuhannya. Ia berpikir untuk mencari nafkah ke negeri sebrang. Dan sangat berharap ketika kembali ke kampung, ia sudah menjadi orang kaya dan dapat membanggakan ibunya.
Suatu hari seorang Nakoda kapal dagang, mengajaknya untuk ikut berlayar. Nahkoda tersebut dulunya sangat miskin. Namun, sekarang ia sudah menjadi orang kaya. Karena ajakan itulah ia sangat ingin pergi dengan ajakan Nahkoda tersebut.
Akhirnya, ia memberitahukan ibunya untuk pergi kegeri sebrang. Awalnya ibunya tidak setuju dengan keinginan Malin Kundang. Namun, Malun terus memaksa dan akhirnya Ibu Malin Kundang mnginjinkannya meskipun dengan hati yag sangat berat. Ia langsung mempersiapkan apa saja yang akan di bawa, dan bekal secukupnya. Ibunya mengantarkan Malin Kundang ke dermaga.
‘’ Anakku, semoga engkau di sana dapat berhasil dan hidup berkecukupan. Jangan lupa untuk kembali pulang ke kampung halamanmu ini, ibu akan selalu menunggu dan mendoakanmu nak.’’ Ujar ibunya sambil menangis.
Dengan sangat berat hati, ibu Malin Kundang melepaskan anaknya pergi ke negeri sebrang. Ia berharap anaknya itu tidak melupakan dirinya dan kembali ke kampung halaman,
Kapal yang di naiki Malin semakin jauh, ibunya terus melambaikan tangan sambil menangis. Salama di kapal, ia sangat banyak belajar bagaimana cara berlayar dan tumbuh menjadi lelaki dewasa yang kuat. Ia dengan cepat menjadi orang kepercayaan dan kesayangan nakhoda yang sangat kaya. Semua suka padanya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang di naiki Malin di serang oleh pembajak laut. Tidak ada barang yang tersisa di kapal itu saat para perompak meninggalkan dan menenggelamkannya. Nakhoda dan semua awak kapal terbunuh.
Malin Kundang sangat bersyukur karena, para bajak laut itu tidak menyadari Malin Kundang yang bersembunyi dalam suatu lubang sempit di dalam kapal.
Berhari-hari ia terkatung-katung di tengah Samudra, hingga akhirnya kapal yang di naiki terdampar di sebuah Desa yang sangat kaya. Di desa tersebut pelabuhannya yang sangat maju pesat dan sangat subur.
Di desa tersebut Malin Kundang di tolong oleh orang desa-desa. Ia mulai mencari pekerjaan. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan, karena keuletan dan kegigihan Malin Kundang bekerja. Dengan cepat ia disukai banyak orang. Malin Kundang berhasil menjadi saudagar kaya raya. Karena kecerdasannya, ketampananya dan pengalaman yang mengantarkannya pada kesuksesan. Ia sekarang memiliki banyak kapal dagang dan anak buah yang berjumlah 100 orang.
Bertahun-tahun ibunya terus bertanya kepada awak kapal, ‘’ bagaimana kabar anaknya, apakah dia baik-baik saja.’’ Namun, tidak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari ibunya mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
“Bu, Apakah sudah mendapat kabar dari Malin? Anakmu sudah menikah dengan gadis yang sangat cantik dan putrid dari bangsawan kaya raya.’’ Ucapnya
Mendengar kabar itu, ibunya sangat gembira. Ia selalu berdoa agar anaknya itu segera pulang. Namun, setelah mendapat kabar Malin dari Nakoda itu, Malin pun tidak kembali untuk menjenguknya.
Di kampung halamannya, berita tentang keberhasilan Malin sudah terdengar. Semua orang di kampungnya selalu membicarakan keberhasilan Malin. Setiap sore ibu Malin selalu duduk mengunggu Malin di dermaga. Ia berharap Malin Kundang akan menjemputnya.
Suatu hari, ketika ibunya Malin Kundang duduk menunggunya. Ia melihat sebuah kapal yang megah dan indah berlayar menuju pantai. Orang kampung berkumpul melihatnya, mereka mengira kapal itu milik seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan penuh gembira.
Ketika si saudagar kaya pemilik kapal dan dan istrinya keluar, semua mata tertuju. Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari.
Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah. Ibunya pun ikut berdesakkan mendekati kapal untuk melihat sepasang Saudagar kaya itu. Jantungnya berdebar sangat kencang saat melihat lelaki muda yang tampan keluar dari kapal.
Ibunya melihat bekas luka di lengannya. Ia sangat yakin lelaki itu adalah anaknya Malin Kundang, ia sangat gembira karena anaknya datang untuk menjemputnya. Ibunya langsung mendekati Malin. Ia langsung memeluknya. Karena sangat gembira.
“Malin, anakku. Kau benar anakku kan? “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?” katanya menahan isak tangis dn memeluknya karena gembira.
Istrinya sangat terkejut melihat kenyataan bahwa wanita tua, bau, dekil yang memeluk suaminya, berkata:
“Jadi wanita tua, bau, dekil ini adalah ibu kamu, Malin”
Karena malu, Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Saya tidak kenal kamu siapa? Dasar wanita tua tidak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku.’’ kata Malin.
Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya. Hati ibunya sangat terluka mendengar ucapan anaknya itu. Ia berusaha terus menyakinkan Malin bahwa dirinya adalah ibunya. Namun, Malin Kundang terus membentak dan mendrong ibunya hingga ia terjatuh.
Ibunya merasa sedih dan marah. Ia tidak menduga, anak yang sangat disayanginya berubah menjadi anak yang durhaka.
“Oh Tuhan ku yang kuasa, jika dia adalah benar anak ku, Saya mohon berikan azab padanya dan rubah lah dia menjadi batu.” doa sang ibu murka.
Malin Kundang yang kesal dan marah segera mengajak istrinya naik ke kapal. Tetapi hanya sekejap, badai datang menerjang. Ombak samudra bergulung-gulung. Kapal Malin Kundang yang besar dan kuat diombang-ambingkan, hingga pecah terbelah. Malin Kundang jatuh ke laut dan terdampar di pantai. Ia berusaha meminta ampun kepada ibunya, tetapi kutukan telah datang. Ketika ia bersimpuh, petir menyambar. Semua telah terlambat. Malin Kundang berubah menjadi batu.
Namun sayang, ibarat nasi sudah menjadi bubur permintaan maaf Malin sudah terlambat. Tuhan sudah mengabulkan permintaan Ibunya.
Pesan moral dari Legenda Malin Kundang – Cerita Rakyat Sumbar adalah sayangi dan hormatilah kedua orang tua mu.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Legenda Malin Kundang – Cerita Rakyat Sumbar
Versi 5 : Dongeng Dari Sumatera Barat
“Hu huuuu huuu.” tangis Malin Kundang sambil memegangi lengannya yang berdarah. Rupanya lagi-lagi ia dipatok oleh ayam jago milik Datuk Firman. Bunda membersihkan lukanya dengan sabar. Kali ini, luka Malin cukup parah. Bunda Malin Kundang yang bernama Mande Rubayah membalutnya dengan perban.
“Malin, jangan nakal. Jangan kau kejar-kejar lagi ayam jago itu. Ingat, kau sudah tidak punya ayah, kaulah satu-satunya harapan Bunda,” nasihat ibunya. Malin hanya mengangguk dan menyeringai.
Sejak ayah Malin meninggal, ibunya bekerja keras untuk menghidupi Malin. Ia membantu para nelayan membongkar ikan hasil tangkapan di pantai. Kadang, Malin ikut dengannya. Di sana, Malin bertemu dengan Saudagar Ali, salah satu orang kaya di kampung itu. Saudagar Ali telah menganggap Malin seperti anaknya sendiri. Beliau mengajari Malin cara berdagang dan mengemudikan kapal. Bagi Saudagar Ali, Malin cerdas dan dewasa, tidak seperti anak kecil pada umumnya.
Ketika Malin beranjak dewasa, Saudagar Ali mengajaknya untuk ikut berlayar ke negeri seberang. Di sana, ia akan mengenalkan Malin pada saudaranya yang juga memiliki usaha perdagangan. Malin pun berpamitan pada ibunya Mande Rubayah. “Bunda, Saudagar Ali mengajakku untuk ikut dengannya. Izinkan aku pergi Bunda, karena aku ingin bekerja di negeri seberang. Jika aku sukses, aku akan kembali dan memboyong Bunda.” Ibunya menunduk. Tak terasa, air matanya menetes. “Bunda tak bisa melarangmu, Malin. Bunda tahu keinginanmu begitu besar,” jawabnya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Malin berlayar ke negeri seberang. Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan. Saat Malin sedang melamun, tiba-tiba kapal berhenti. Seperti ada sesuatu yang menabraknya. Mendengar suara gaduh di bawah, Malin melongokkan kepalanya. Ia melihat segerombolan orang dengan pedang terhunus menaiki kapal itu. Malin merasa tak enak. “Pasti mereka para perompak. Aku harus segera bersembunyi,” katanya dalam hati. Beruntung, ia menemukan sebuah keranjang ikan dari bambu yang cukup besar untuk bersembunyi.
Para perompak itu mengambil semua uang dan emas milik Saudagar Ali. Mereka juga membunuh Saudagar Ali dan anak buahnya. Malin selamat, karena para perompak itu tidak tertarik pada keranjang bambu tempat persembunyian Malin. Mereka hanya mengobrak-abrik peti-peti yang berisi uang dan emas. Sepeninggal para perompak itu, Malin keluar dari tempat persembunyiannya. Ia mengemudikan kapal itu ke daratan terdekat. Malin lalu menceritakan apa yang terjadi pada penduduk setempat. Warga bergotong royong untuk menguburkan jenazah Saudagar Ali dan anak buahnya.
Karena tak tahu harus pergi ke mana, Malin memutuskan untuk tinggal di sana. Ia menggunakan kapal Saudagar All untuk mengangkut barang- barang penduduk yang akan dikirim ke tempat lain. Malin menerima bayaran dari jasa pengiriman itu. Lama kelamaan, jasa pengirimannya itu berkembang pesat. Malin bahkan bisa membeli kapal-kapal yang lain.
Malin sekarang telah menjadi pemuda yang kaya raya. Ia menikahi seorang gadis yang cantik, anak tetua kampung itu. Sadar bahwa istrinya berasal dari keluarga yang terpandang, Malin pun merahasiakan asal-usulnya. Tiap kali istrinya bertanya tentang orang tuanya, Malin selalu menjawab kalau mereka sudah meninggal. Malin mengatakan, bahwa Saudagar Ali adalah ayahnya. Ia tak tahu bahwa ibunya menunggu dengan hati cemas di kampung halaman.
Suatu hari, Malin dan istrinya pergi berlayar. Entah mengapa, nahkoda membawa kapal itu ke arah kampung halaman Malin. Mendekati bibir pantai, Malin tersadar. “Bukankah ini kampung halamanku?” bisiknya cemas. Baru saja Malin ingin meminta nahkoda untuk berbalik arah, istrinya berteriak kegirangan, “Suamiku… lihat! Kapal nelayan itu sedang membongkar ikan. Aku ingin sekali makan ikan segar. Ayo kita turun untuk membeli ikan!” Malin tak kuasa menolak. Ia dan istrinya berjalan menuju kapal nelayan itu. “Minggir…minggir… Saudagar Malin mau lewat…” kata anak buah Malin.
Mande Rubayah ibu Malin yang kebetulan sedang membantu para nelayan terkesiap. “MALIN? Apakah aku tidak salah dengar?” Mata wanita itu mencari-cari dan hatinya berdesir, “Ya, benar. Itu Malin anakku!” Tak bisa menahan diri, ia berlari ke arah Malin. “MALIN… MALIN KUNDANG anakku!!” teriak ibunya. Ia memeluk Malin erat-erat dan menangis. Malin kaget bukan kepalang, ia tak siap dengan keadaan itu. Istrinya menatapnya dengan heran, “Malin, bukankah kau bilang ibumu sudah meninggal sejak kau kecil?”
Malin cepat-cepat melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Hei kau wanita tua, berani sekali kau menyebutku anakmu,” teriak Malin lantang.
Bunda terpana mendengar ucapan Malin itu. “Malin anakku sayang… sudah lupakah kau pada bundamu sendiri?” ratap wanita itu.
Istri Malin berusaha menengahi keadaan, “Wahai Ibu, apakah Ibu bisa membuktikan bahwa Malin benar-benar anak Ibu?” tanyanya dengan santun.
“Semua orang di kampung ini tahu bahwa Malin adalah anakku. Namun jika kau tak percaya, cobalah periksa lengan kanannya. Ada bekas luka karena patokan ayam Datuk Firman. Bunda percaya kau masih ingat hal itu Malin,” kata Bunda sambil menatap Malin tajam. Istri Malin kemudian memeriksa lengan kanan suaminya dan benar, ada bekas luka di sana. Istrinya memandang Malin dengan sedih, “Malin, kenapa kau mengingkari ibumu sendiri?”
“Istriku, kau harus percaya padaku. Ibuku sudah meninggal ketika melahirkanku. Tentu Ibu ini tahu tentang luka di lenganku, karena semua orang di sini tahu cerita itu,” kata Malin membela diri.
Setelah berkata demikian, Malin mengajak istrinya pergi dari tempat itu. Mereka menaiki kapal. Bunda menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di bawah kapal. “Malin anakku… jangan kau tinggalkan Bundamu lagi, Nak… Bunda sangat merindukanmu. Kaulah satu-satunya harta Bunda di dunia ini,” ratapnya. Malin bergeming. Sambil memandang sinis ke bawah, ia meludahi ibunya. “Dasar orang tua tak tahu diri, berani sekali kau mengaku sebagai ibuku!”
Hati wanita tua itu sakit sekali. Tanpa sadar, ia mengucap doa, “Ya Tuhan, sadarkan anak hamba. Ia telah mengingkariku sebagai ibu yang pernah melahirkan dan menyusuinya.” Seketika itu juga langit menjadi mendung clan hujan turun deras sekali. Petir menggelegar dan angin bertiup sangat kencang. Tiba-tiba, petir menyambar tepat di depan kaki Malin. Ajaib, di tengah gemuruh hujan, tubuh Malin langsung kaku.
Mula-mula kakinya tak bisa digerakkan. Istrinya berteriak, “Malin, apa yang terjadi pada kakimu? Kakimu seperti batu!” Rupanya tak hanya kakinya yang menjadi batu, perlahan- lahan seluruh tubuhnya juga jadi batu. Malin sangat ketakutan. Ia sadar ini adalah hukuman Tuhan atas perbuatannya. “Bunda, ampuni aku. Tolong selamatkan aku Bunda…” teriaknya. Namun semuanya sudah terlambat. Seluruh tuhuh Malin akhirnya jadi batu.
Mulutnya menganga karena ia berteriak mohon ampun. Ibunya menangis, istri Malin pun menangis. Mereka berdua memeluk Malin yang sudah jadi patung.
Konon kabarnya, batu yang menyerupai Malin Kundang masih dapat ditemui di Pantai Air Manis, di sebelah selatan Kota Padang, Sumatra Barat.
Pesan dari Cerita Rakyat Malin Kundang dari Sumatera Barat untukmu adalah hormati dan sayangi kedua orang tuamu, terutarna ibumu. Berkat doa merekalah kita bisa meraih kesuksesan.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Cerita Rakyat Malin Kundang dari Sumatera Barat
Versi 6 : Cerita Rakyat Sumatera Barat : Malin si Anak Durhaka
Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.
Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.
“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” kata Malin sambil menggenggam tangan ibunya. “Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.
“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, “Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.
Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, “Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo’akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.
Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. “Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.
Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.
“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…,” rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai. Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah. Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!” ucapnya sinis, “Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Wanita gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.
Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!” Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.
Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.
Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, “Ampun, Bu…! Ampuun!” konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.
Pesan moral dari Cerita Dongeng Malin Kundang (Cerita Rakyat SumBar) adalah Hormatilah ibumu dan jangan perna mendurhakainya.
Baca kisah lengkapnya pada link berikut ini : Cerita Dongeng Malin Kundang (Cerita Rakyat SumBar)
Versi 7 : Cerita Rakyat Sumatera Barat: Malin Kundang
Alkisah hiduplah satu keluarga yang tinggal di perkampungan pantai Aia Manih. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang bernama malin kundang. Keluarga itu hidup dalam kemiskinan. Ayah Malin Kundang lantas pergi memperbaiki nasib keluarganya. Waktu terus berlalu, bertahun-tahun dilewati namun ayah Malin Kundang itu tidak juga kembali. Tidak ada juga kabar darinya, entah dimana keberadaan ayah Malin Kundang Itu.
Ibu Malin Kundang, Mande Rubayah namanya, mengambil alih peran ayah Malin Kundang untuk mencari nafkah. Ia berjualan kue yang dijajakan berkeliling. Uang hasil penjualan kue itu digunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan anak semata wayangnya. Keduanya hidup dalam kemiskinan.
Sejak kecil Malin Kundang telah dikenal cerdas, pemberani dan agak nakal. Malin Kundang kerap mengganggu ayam, baik ayam miliknya sendiri atau ayam milik tetangganya. Dikejar-kejarnya ayam itu dan dipukulnya dengan sapu. Mande Rubayah sangat menyayangi Malin Kundang. Begitu juga sebaliknyam,Malin Kundang sangat menyayangi ibunya.
Kehidupan miskin yang dialami Malin Kundang membuatnya ingin pergi merantau. Menurutnya, jika ia berhasil dalam perantauannya nanti, ia dan ibunya tidak lagi harus hidup dalam kemiskinan. Ibunya tidak harus berkeliling untuk menjajakan kue.
Ibu Malin Kundang sesungguhnya tidak setuju dengan rencana Malin Kundang untuk merantau. Ia tidak ingin kejadian yang menimpa suaminya dahulu terulang pada anaknya itu. Namun Malin Kundang memaksa dan mendesak. Ibu Malin Kundang akhirnya mengizinkan meski dengan berat hati. Pesannya,” Jika engkau telah berhasil segeralah engkau kembali. Sekali-kali janganlah engkau melupakan Bundo dan kampung halamanmu ini.”
“Aku melupakan Bundo? Bagaimana mungkin aku berani melakukannya? Tidak sekali-kali!” tegas Malin Kundang.” Justru aku berniat pergi marantau ini agar Bundo dapat hidup senang dan berbahagia, tidak berkutat dalam kemiskinan seperti yang kita alami selama ini. Sungguh, akan menjadi anak durhaka aku ini jika berani melupakan bundo!”
Dengan berbekal sedikit uang dan tujuh bungkus nasi, Malin Kundang memulai pengembaraannya. Gembiralah hati Malin Kundang ketika mendapati ada kapal dagang yang tengah berlabuh di pantai Aia Manih dan bertambah-tambah kebahagiaannya saat nakhoda kapal memperbolehkannya untuk turut menumpang dalam kapal itu.
Kejadian yang mengejutkan dialami Malin Kundang. Kapal dagang yang ditumpanginya itu diserang kapal bajak laut. Malin Kundang bersembunyi di ruang kecil yang tertutup tumpukan kayu. Hanya dirinya saja yang selamat ketika para perompak itu meninggalkan kapal dagang itu seraya membawa seluruh isi kapal dagang yang mereka rampok.
Malin Kundang terkantung-kantung sendirian di tengah laut. Dipasrahkan nasibnya sepenuhnya kepada tuhan. Ombak laut akhirnya mendamparkan kapal dagang yang dinaiki Malin Kundang ke sebuah pantai. Malin Kundang berjalan menuju desa terdekat dan mendapat pertolongan orang-orang desa itu. Malin Kundang lantas tinggal di desa yang subur itu.
Malin Kundang kemudian bekerja serabutan di desa itu. Apapun yang bisa dikerjakannya akan dikerjakannya. Ia bekerja dengan rajin dan sangat hemat. Sebagian besar uang yang didapatkannya itu ditabungnya. Ketika uang tabunganna telah cukup banyak, Malin Kundang lantas berdagang. Ia membeli barang dan menjualnya dengan mengambil keuntungan yang tidak banyak. Orang-orang senang membeli dan menjual barang kepadanya karena Malin Kundang dikenal jujur.
Perdagangan yang dilakukan Malin Kundang terus mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan. Terus membesar saja usahanya. Malin Kundang tidak hanya berdagang di desa tempat tinggal nya saja, namun juga ke desa-desa lain. Bahkan, akhirnya dia melaksanakan perdagangan antar pulau juga. Ia melaksanakan perdagangan itu dengan menyewa kapal. Terus membesar usaha dagangnya sehingga dia mampu membeli kapal dagangnya sendiri. Kian bertambah maju usaha dagangnya sehingga dia mampu membeli kapal dagang yang lain. Malin Kundang pun dikenal sebagai pedagang besar yang berhasil. Lebih dari seratus orang bekerja kepadanya. Kekayaan Malin Kundang amatlah banyak. Tidak ada orang di desa itu yang mampu mengalahkan kekayaan Malin Kundang. Ia lantas menikah dengan gadis tercantik di desa itu yang juga berasal dari keluarga kaya raya.
Di perkampungan Aia Manih ibu Malin Kundang terus menunggu kedatangan anaknya. Setiap ada kapal yang merapat di pelabuhan, ia senantiasa berharap anak tercintanya itu berada di dalam kapal tersebut. Namun, anak tercintanya itu tidak juga terlihat. Tidak ada juga kabar dari Malin Kundang. Entah dimana anaknya itu berada. Mande rubayah tidak mengetahuinya. Terbersit pula ketakutannya jika nasib anaknya itu akan sama dengan nasib suaminya.
Waktu terus berlalu. Suatu hari dia mendengar berita yang tlah bertahun-tahun ditunggunya. Anak tercintanya telah kembali. Sangat mengejutkan sekaligus membanggakannya, anak tercintanya pulang menaiki kapal milinya sendiri.
Mande rubayah segera pergi ke pelabuhan. Tak terkirakan gembira dan bahagia hatinya ketika ia melihat sebuah kapal yang besar serta mewah tengah bersandar dipelabuhan. Detak jantung Mande Rubayah dirasanya kian cepat saat mendapati anaknya berdiri diatas geladak kapal disamping seorang perempuan yang diyakininya adalah menantunya. Betapa gagahnya anaknya itu mengenakan pakaian yang terlihat indah gemerlap. Segera ia mempercepat langkah kakinya menuju kapal itu.
Malin Kundang menuruni kapal.
Mande Rubayah yang menyangka anaknya datang menjemputnya segera menghampiri dan memeluk anak yang dirindukannya itu.”Malin Kundang anakku,” kata Mande Rubayah.” Mengapa engkau pergi begitu lama tanpa pernah berikirim kabar kepada ibumu.”
Malin Kundang sesungguhnya sadar dan mengetahui jika perempuan tua yang memeluknya itu adalah ibu kandungnya. Namun, saat itu dia disergap rasa malu yang luar biasa untuk mengakui. Dihadapan istri dan sekalian anak buahnya, ia malu mengakui perempuan tua berpakaian lusuh itu adalah ibu kandungnya. Maka katanya,” Hei perempuan tua berpakaian lusuh, siapakah engkau ini hingga berani beraninya engkau memelukku.”
“Malin apa katamu?” amat terperanjat Mande Rubayah mendengar ucapan anaknya.”Tidakkah engkau bisa melihat jika aku ini ibumu? Aku ibu kandungmu, Malin! Mengapa engkau berkata seperti itu?”
“Hei perempuan tua! Berani beraninya engkau mengaku sebagai ibuku!” kata Malin Kundang seraya berkecak pinggang.” Aku tidak mempunyai ibu seperti engkau ini! Jangan engkau sembarangan mengaku! Lekas engkau tinggalkan kapalku ini!”
Istri Malin Kundang turut mencoba menyadarkan.” Kanda, perhatikan dulu baik-baik, jangan terburu-buru mengusir. Apakah benar perempuan tua ini ibu kandungmu?”
“Ibu kandung? Cis! Bukan! Ia bukan ibuku! Ia hanya seorang pengemis tua renta yang mengaku aku sebagai anaknya karena mengetahui aku ini seorang yang kaya raya!”
“Malin!” Teriak Mande Rubayah.
Malin Kundang benar-benar telah gelap mata hingga mendorong tubuh ibu kandungnya jatuh terjerembab.” Pergi engkau dari kapalku ini! Pergi jauh-jauh!”
Tak terkirakan kepedihan hati Mande Rubayah, mendapati perlakuan keji anak kandungnya. Sama sekali tidak disangkanya jika anak kandungnya begitu buruk perlakuannya terhadapnya. Anak kandung itu tidak hanya menolak mengakuinya sebagai ibu kandung, melainkan berani menganiyayanya dengan mendorong tubuhnya terjerembab. Dengan hati remuk redam, Mande Rubayah turun dari kapal mewah milik Malin Kundang. Seketika ia sampai di tanah, ia pun menengadahkan ke arah langit dan meluncurlah doanya kepada Tuhan. “ Ya Tuhan sekiranya lelaki yang tidak mengakuiku sebagai ibu kandungnya dan mendorongku hingga jatuh itu benar-benar Malin Kundang, maka aku sumpahi dia menjadi batu.”
Beberapa saat kemudian kapal besar lagi mewah itu mengangkat jangkar untuk kembali berlayar. Langit terlihat cerah, angin bertiup lembut. Kapal perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan membawa Malin Kundang, si anak durhaka yang telah berani berbuat keji terhadap ibu kandungnya itu. Mendadak terjadilah sesuatu yang tidak diduga. Angin badai datang tiba-tiba dan menghantam kapal besar milik Malin Kundang itu. Begitu kencang dan dahsyatnya angin badai itu menghantam, kapal besar lagi mewah milik Malin Kundang seketika itu hancur berantakan. Setelah itu, perlahan-lahan tubuh Malin Kundang menjadi kaku hingga akhirnya menjadi batu.
Kutukan Mande Rabayah terhadap anaknya itu telah terwujud. Anak durhaka itu telah berubah menjadi batu.
Pesan Moral dari Dongeng Kisah Cerita Rakyat Sumatera Barat Malin Kundang adalah “Durhaka terhadap Ibu akan menyebabkan Tuhan murka hingga kehidupan pelakunya akan sengsara. Baik di dunia maupun akhirat”
Baca cerita lengkapnya pada link berikut ini Cerita Rakyat Sumatera Barat: Malin Kundang
Posting Terkait Lainnya
- Cerita Dongeng Bawang Merah Bawang Putih dari Sumatera Barat
- Kumpulan Dongeng Legenda Nusantara : Putri Kemarau
- Cerita Rakyat Padang Sabai Nan Aluih (Dongeng Sumatera Barat)
- Dongeng Cerita Bawang Putih Bawang Merah
- Cerita Rakyat Sumatera Barat Danau Singkarak
- Cerita Dongeng Rakyat Sumatera Barat : Pak Lebai Malang
- Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat : Legenda Danau Maninjau
- Cerita Rakyat Sumatra Barat : Asal Usul Minangkabau
- Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat : Danau Singkarak