Cerita rakyat Kalsel atau Kalimantan Selatan pernah kakak posting di blog ini. Kalian dapat menemukannya di artikel berikut ini Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Dari Kalimantan Selatan. Kali ini kembali kakak posting cerita rakyat dari Kalsel yang menjadi asal muasal dua gunung yang ada disana. Selamat Membaca.
Cerita Rakyat Kalsel : Gunung Batu dari Perahu yang Terbelah
Asal Usul Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki
Angui adalah seorang pemuda yang cekatan dan rajin bekerja. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua bernama Diang Ingsung.
Sewaktu kecil, Angui sering diajak oleh ibunya mencari ikan di sungai dengan manggunakan jukung, yaitu sejenis sampan dari kayu.
Ketika sudah dewasa, setiap hari ia pergi mencari rotan ke hutan untuk dijual. Setelah mengumpulkan rotan, ia membersihkan dan mengikatnya dengan sangat rapi. Kerapian dalam mengerjakan tugas memang selalu diajarkan oleh ibunya.
Pada suatu hari, seorang saudagar datang ke desa itu untuk mengambil rotan dan menukarkannya dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Angui pun ikut menyerahkan hasil hutan yang didapatnya untuk ditukar dengan beras, nasi, dan gula merah. Saudagar tersebut terkesan melihat ketelatenan Angui membersihkan dan mengikat rotan-rotannya. Ia lalu memanggil pemuda itu.
“Siapa namamu?” tanya sang saudagar. “Angui, Tuan,” jawab pemuda itu.
“Aku melihat kau sangat rapi dan cekatan. Batang-batang rotan yang kau jual pun cukup tua dan kering. Aku butuh orang-orang sepertimu. Apakah kau mau ikut berlayar denganku?” ajak sang saudagar.
Angui merasa terkejut sekaligus gembira.
“Terima kasih, Tuan! Tentu saja saya mau, tetapi izinkan saya meminta izin kepada ibu saya”
“Pergilah, besok ku tunggu kau di sini,” kata saudagar itu.
Angui pulang ke rumah dengan perasan gembira. Ia menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku boleh pergi berlayar supaya kehidupan kita lebih baik lagi?” tanya Angui.
Meskipun berat, Diang Ingsung tidak ingin menahan keinginan anaknya untuk mencari kehidupannya yang lebih baik.
“Ibu mengizinkanmu pergi, Nak. Namun, setelah berhasil pulanglah, Ibu pasti sangat merindukanmu,” jawab ibunya dengan perasaan sedih.
Angui memeluk ibunya dengan bahagia sekaligus sedih, karena harus meninggalkannya sendiri.
Keesokan paginya, Angui pamit kepada Ibunya untuk pergi berlayar.
“Jaga diri Ibu baik-baik. Aku titip ayam jagoku ini Bu, ia sahabatku semenjak aku kecil. Biarlah ayam ini jadi pengingat Ibu terhadapku. Doakan aku berhasil, Bu,” kata Angui.
Diang Ingsung menahan air matanya, “Tentu, Nak. Ibu akan menjaganya:’
Angui pun pergi berlayar bersama saudagar pemilik kapal.
Bertahun-tahun lamanya Angui bekerja dengan baik don rajin. Saudagar itu sangat menyayangi Angui. Ia pun menikahkan putri satu- satunya dengan Angui. Tidak berapa lama kemudian, saudagar itu meninggal dunia. Semua hartanya diwariskan kepada putrinya dan Angui. Dengan demikian, nasib Angui pun berubah menjadi saudagar yang kaya raya dengan istri yang cantik.
Kemudian, Angui teringat dengan ibunya. Ia berniat mengunjungi ibunya. Istrinya menyambut gembira ajakan suaminya.
“Mari kita berangkat, Bang. Aku belum pernah bertemu dengan mertuaku,” kata sang istri.
Angui pun meminta anak buahnya menyiapkan perjalanan mereka ke kampung Angui dengan menggunakan kapal yang besar dan megah. Setelah berlayar beberapa lama, sampailah kapal besar tersebut di pelabuhan.
Orang-orang kampung terkejut melihat sebuah kapal besar dan megah mendarat di kampung mereka. Lebih terkejut lagi ketika mereka melihat seorang laki-laki muda dan perempuan muda di geladak kapal.
“Bukankah itu Angui, anak Diang Ingsung?” kata salah seorang penduduk, “Wah ia sudah menjadi saudagar kaya!”
“Iya betul, itu Angui, anak Nenek Ingsung. Lebih balk aku ke rumah Nenek Ingsung dan memberitahukannya bahwa anaknya datang!”
Beberapa orang berlarian ke gubuk Diang Ingsung.
“Nek, Nenek Ingsung! Cepatlah ke pantai! Angui anakmu datang! Ia sudah jadi saudagar kaya!”
Diang Ingsung yang sudah tua renta dan sakit-sakitan bersusah payah keluar rumah.
“Apa kalian bilang? Angui pulang?”
“Iya Nek, cepatlah ke sana!”
Diang Ingsung merasa sangat bahagia. Angui anak yang dirindukannya telah pulang. Ia akan menggunakan jukung, ia yakin Angui akan segera mengenali jukung tua mereka.
“Ah, akan kubawa juga ayam jago si Angui, ia pasti senang, karena ayam jagonya berumur panjang!”
Diang Ingsung pun mulai mendayung jukung dengan susah payah. Ayam jago Angui diletakkan di ujung jukung. Tubuhnya yang telah letih karena penyakit terasa lebih bersemangat, karena sebentar lagi akan bertemu dengan anaknya.
Jukung tua itu didayung mendekati kapal besar milik Angui. Diang Ingsung melihat sosok anaknya di anjungan kapal. Ah, betapa tampon anaknya sekarang. Diang Inngsung merasa sangat bahagia.
” Angui! Angui, Anakku! Kamu datang, Nak!” teriak Diang Ingsung dengan susah payah. Sauaranya yang serak hampir kalah oleh angin laut.
Angui terkejut melihat seorang nenek kumal dengan jukung tua mendekati kapalnya. Ia tahu itu ibunya, tetapi melihat keadaan ibunya yang kumal dan dengan pakaian yang kusam, ia menjadi malu mengakuinya.
“Siapakah ibu yang memanggilmu itu, Bang?” tanya istri Angui, Betulkah itu ibumu? Kalau iya, suruhlah awak kapal menjemputnya naik.”
Angui masih memandang nenek tua yang sedang berusaha merapat ke kapalnya dengan masam.
“Hei, Nenek! Siapakah kau? Mengapa kau memanggil aku anakmu? Ibuku bukan nenek-nenek miskin sepertimu!” hardik Angui .
Diang Ingsung terkejut, “Nak, ini betul Ibumu. Lihatlah Nak, ini jukung yang selalu kita gunakan untuk mencari ikan dan ini ayam jago yang kau titipkan kepada ibu!””
“Dasar penipu! Tidak mungkin seekor ayam bisa hidup selama itu! Cepat pergi dari sini!!”
“Abang, jika memang itu ibumu, akuilah. Aku menerimanya apa adanya,” kata istrinya lagi.
“Sudah kubilang ia bukan ibuku!” Angui memerintahkan anak buah kapal mengusir ibunya.
Angui juga memerintahkan untuk meninggalkan tempat itu. Kapal besar itu pun perlahan menjauh dari pantai.
Betapa hancur hati Diang Ingsung. Anak yang dirindukannya kembali justru tidak mengakuinya sebagai ibu. Air matanya berlinang.
Dengan menangis ia berdoa, “Tuhan, anakku tidak mengakui aku lagi sebagai ibunya. Celakakanlah ia. Biarkanlah ia menjadi batu beserta segala milik dan kekayaannya!”
Tiba-tiba, langit mendung. Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir menyambar. Kapal Angui diterjang badai dan petir berkali-kali. Kapal besar tersebut terbelah menjadi dua, satu bagian berisi istri dan dayang-dayangnya, satu bagian lagi Angui dan para awak kapal. Kedua bagian yang terbelah itu pun pelan-pelan karam.
“Ibu, ampun Ibu. Aku memang anakmu! Tolonglah aku Ibu,” terdengar teriakan Angui meminta tolong.
Diang Ingsung tidak bergeming mendengar teriakan anaknya, ia tetap mendayung jukungnya menuju ke daratan.
Daratan kampung yang tergenang air, lama-kelamaan surut. Ketika air surut, munculah dua belahan kapal yang sudah membatu. Satu bagian kapal yang berisi istri Angui dan dayang-dayangnya kemudian dinamakan Gunung Batu Bini. Sementara itu, bagian lainnya yang berisi Angui dan anak buah kapalnya dinamakan Gunung Batu Laki.
Gunung Batu Laki ada sebuah pohon besar yang tinggi. Konon, pohon itu berasal dari tiang layar kapal yang mencuat setelah tenggelam. Lokasi Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki ada di sebelah barat Pegunungan Meratus.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Kalsel : Gunung Batu dari Perahu yang Terbelah adalah kita harus menghormati dan menyayangi orangtua. Mereka lah sumber kesuksesan dan kebahagiaan yang akan kita raih.
Temukan cerita rakyat dari Kalsel terbaik lainnya pada artikel kami berikut ini Cerita Rakyat Kalimantan Selatan : Lok si Naga dan Dongeng Kalimantan Selatan Cerita Rakyat Gunung Batu Bangkai.