Dahulu kala, di Aceh hiduplah keluarga petani. Petani itu memiliki beberapa anak. Setiap hari, Pak Tani pergi ke ladang untuk bercocok tanam. Namun karena musim kemarau kali ini begitu panjang, tanaman pun banyak yang mati. Alhasil, Pak Tani tak memiliki padi untuk persediaan makanan.
Pak Tani mendapat ide. Ia menangkap belalang yang ada di ladangnya, kemudian menyuruh istrinya untuk memasak belalang itu.
“Sementara ini dulu yang kita makan,” ucap Pak Tani.
Tak ada yang mengeluh dengan keadaan itu.
Setiap hari Pak Tani, Bu Tani, dan anak-anaknya pergi ke ladang untuk menangkap belalang. Belalang-belalang itu mereka taruh di lumbung makanan.
Hingga suatu malam, Pak Tani tak kunjung pulang. Sementara itu, perut anak-anaknya sudah keroncongan.
“Aku lapar, Bu,” ucap anak Pak Tani kepada ibunya
“Kau ambillah belalang yang ada di lumbung, biar ibu memasaknya,” ucap ibunya. Anak itu pun pergi ke lumbung dan mengambil beberapa belalang. Namun, ia lupa untuk menutup kembali lumbungnya. Akhirnya belalang-belalang itu pun terbang.
Mengetahui hal itu, Bu Tani sangat ketakutan. Suaminya pasti akan sangat marah. Benar saja, Pak Tani pulang dengan perut kosong. Ia sangat lapar. Mengetahui lumbungnya kosong, ia pun marah kepada istrinya.
Pak Tani mengusir istrinya dari rumah. Istrinya lalu pergi ke sebuah batu besar. Konon, batu itu bisa memakan manusia. Ia sangat sedih diusir oleh suaminya. Ia tak memiliki tempat untuk pulang selain rumahnya.
“Lebih baik aku dimakan oleh batu itu,” isak istri Pak Tani.
Sesampainya di batu besar itu, Bu Tani menyenandungkan sebuah lagu yang membuat batu besar itu terbelah. Bu Tani pun masuk ke dalam batu itu. Ia lenyap, hanya menyisakan tujuh helai rambutnya.
Pesan moral dari cerita rakyat Indonesia batu terbelah adalah jangan berlebihan kalau marah, sebab hal itu hanya akan membuatmu menyesal.