Kalian pasti suka dengan cerita dongeng nusantara yang akan Kakak ceritakan ini. Legenda Pulau Si Janggoi sama seperti cerita daerah nusantara sebelumnya yaitu Punai Anai, sama-sama berasal dari Kepulauan Riau. Kedua cerita rakyat ini memiliki latar daerah yang sama dan sangat seru ceritanya. Untuk ayah dan Bunda, jangan lupa dongengkan cerita rakyat ini untuk si kecil yah.
Cerita Dongeng Nusantara – Legenda Asal Mula Pulau Si Janggoi
Tersebutlah seorang panglima ternama Negeri Riau pada masa lampau. Panglima Kawal namanya. Selain cerdas dan pemberani, Panglima Kawal terkenal sakti. Karena keberanian, kecerdasan, dan kesaktian Panglima Kawal, Negeri Riau senantiasa terbebas dari bajak taut dan perompak yang berniat menyerang atau menguasai.
Pada suatu hari datang beberapa kapal ke pelabuhan Riau. Kapal-kapal itu ternyata kapal-kapal perompak yang langsung dipimpin Jangoi, pemimpin bajak laut yang sangat ditakuti. Seketika kapal-kapal bajak taut itu merapat di pelabuhan, si Jangoi langsung ditemui beberapa hulubatang Negeri Riau.
“Maaf Tuan, siapakahTuan ini dan ada maksud apakah Tuan datang ke negeri kami?”
“Aku Jangoi!” teriak pemimpin bajak laut yang kejam itu dari atas geladak kapalnya. “Kedatanganku ke Riau ini untuk menguasai Riau! Hendaklah seluruh rakyat negeri ini menyatakan takluk dan tunduk kepadaku, niscaya mereka akan kuampuni! Mereka akan selamat! Namun, jika mereka berani melawan, perintahkan segenap rakyat untuk beramai-ramai membuat lubang kubur mereka sendiri!”
Para hulubatang Negeri Riau sesungguhnya sangat muak dengan kesombongan Jangoi. Namun, mereka masih mencoba bersabar. Pemimpin hutubatang Negeri Riau menyatakan, “Hendaklah Tuan menunggu sebentar, kami akan melaporkan kedatangan Tuan ini kepada panglima kami.”
“Terserah kepada siapa kalian hendak melapor, aku tidak peduli! Sebutkan, pada panglimamu atau rajamu sekalian, si Jangoi yang perkasa dan menggetarkan namanya di seantero Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatera tengah menunggu di sini. Aku tidak sudi datang menghadap, panglima atau rajamu itu yang harus menghadapku!”
Pemimpin hulubalang lantas menemui Panglima Kawal. Dijelaskannya kedatangan si Jangoi. Lapornya, “Pemimpin perompak itu kini tengah berada di kapalnya yang sedang merapat di pelabuhan untuk menunggu kedatangan Tuan.”
Mendapati laporan itu, Panglima Kawal lantas berniat mengadakan perundingan. Betapa pun sakti dan pemberaninya ia, namun Panglima Kawal lebih memitih menempuh jalan perdamaian dibandingkan peperangan. Ia tidak ingin melihat terjadinya korban jika terjadi peperangan. Perang baru akan dilakukannya jika jalan perundingan telah tertutup atau tidak bisa lagi dilakukan.
Panglima Kawal datang sendirian ke kapal si Jangoi. Tanpa iringan pengawal dan tanpa pula menyandang senjata. Ia berjalan tenang menaiki kapal tempat dimana si Jangoi berada.
Kedatangan Panglima Kawal mengejutkan si Jangoi. Kian terperanjat ia saat mengetahui Panglima Kawal datang sendirian untuk menemuinya. Menurutnya, hanyalah orang pemberani yang berkemampuan tinggi saja yang berani melakukannya. Bagaimanapun halnya, ia kagum juga dengan keberanian Panglima Kawal itu.Ia perlu memberikan penghormatan kepada Panglima Kawal, meski diselipkannya rencana jahatnya untuk mencelakakan Panglima Negeri Riau itu.
Si Jangoi menerima Panglima Kawal dan mempersilakannya untuk duduk. Untuk menghormati Panglima Kawal, si Jangoi menghidangkan sirih Iengkap dengan kapur dan juga pinang. “Silakan, Tuan,” kata si Jangoi mempersilakan.
Selintas mengamati, Panglima Kawal mengetahui, daun sirih yang dihidangkan untuknya itu bukan daun sirih biasa, melainkan daun jelatang. Daun jelatang memang sejenis dengan daun sirih, namun sangat beracun. Panglima Kawal tersenyum dan menolak untuk makan sirih.
Si Jangoi tidak tersinggung atas penolakan Panglima Kawal. Jika seseorang tidak memakan sirih, tentu ia memakan bakik’, begitu pikirnya. Si Jangoi lantas menghidangkan bakik yang terdapat dalam tapak sirih. Tetap dengan siasat jahatnya, karena sebelumnya ia telah menempatkan paku- paku beracun di dalam bakik.
Panglima Kawal tersenyum. Tanpa ragu ragu diambilnya bakik yang dihidangkan itu dan langsung memakannya. Seraya mengunyah, Panglima Kawal berujar, “Mari kita makan bakik ini bersama-sama, Tuan Jangoi.”
Si Jangoi tampak kikuk serta bingung mendengar ajakan Panglima Kawal untuk makan bakik bersama. Mendadak kegentaran merayapi hatinya. Panglima Kawal makan bakik berisi paku beracun itu dengan tenang, padahal racun yang dibubuhkannya sangat kuat. Hanya beberapa saat setelah terkena, orang biasanya akan menemui kematiannya. Terlebih-lebih jika memakannya! Tetapi racun itu ternyata tidak berpengaruh pada Panglima Kawal. Panglima Kawal tetap segar bugar dan tetap mengunyah bakik berisi paku beracun itu.
“Ayolah Tuan Jangoi;” ajak Panglima Kawal lagi. “Bakik ini sangat enak rasanya. Bagi orang Riau, bakik seperti inilah yang dimakan sebagai pengganti makan sirih.”
Si Jangoi kian kikuk dan bingung. Kegentaran hatinya kian pula menjadi-jadi saat melihat Panglima Kawal mematah-matahkan bakik itu dengan jari-jari tangannya. Semua itu secara langsung menunjukkan betapa tingginya ilmu dan kesaktiannya mengingat bakik-bakik itu berisi paku beracun. Bisa dibayangkannya seandainya jari-jari tangan Panglima Kawal itu mematah- matahkan tulang-tulang tubuhnya!
“Maafkan kami, Tuan,” mendadak si Jangoi berujar seraya menghaturkan sembah. “Kami menyerah kalah.”
Si Jangoi mengurungkan niatnya untuk menyerang dan menguasai Riau. Secara langsung ia telah melihat sendiri betapa saktinya Panglima Kawal. Bisa diperkirakannya, ia pasti akan kalah jika bertarung melawan Panglima seandainya ia dan segenap anak buahnya mengeroyok Panglima Kawal, belum tentu mereka dapat mengalahkannya. Apalagi, kekuatan Negeri Riau tidak hanya pada Panglima Kawal semata- mata.
Si Jangoi segera memerintahkan segenap anak buahnya untuk mengangkat jangkar dan segera meninggalkan pelabuhan Riau. Sebelum kapal-kapal itu berlayar, si Jangoi membuang bakik-bakik itu ke laut seraya bersumpah, “Jika bakik ini tidak timbul, aku tidak akan datang lagi ke tempat ini!”
Bakik-bakik yang dilemparkan si Jangoi ternyata tidak timbul.
Negeri Riau kembali seperti semula dalam keadaan aman, tenteram, dan damai. Tidak ada lagi perompak atau bajak laut yang mencoba menyerang atau menguasai Riau. Kabar keberanian dan kesaktian Panglima Kawal telah menyebar kemana-mana. Jika si Jangoi yang sangat ditakuti di seantero Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatera saja merasa gentar menghadapi Panglima Kawal, apalagi para perompak yang belum setenar si Jangoi namanya.
Waktu terus bergulir. Rakyat Negeri Riau yang tenang dan damai itu mendadak dikejutkan oleh meninggalnya Panglima Kawal. Kesedihan pun seketika itu merebak di Negeri Riau karena kematian panglima terbaik yang pernah dimiliki Negeri Riau itu. Rakyat menangisi kepergian sosok panglima yang terkenal berani lagi sakti namun sangat mencintai perdamaian itu.
Kematian Panglima Kawal didengar juga oleh si Jangoi. Niatnya untuk menyerang dan menguasai Riau kembali menyala dan terus berkobar. Tidak ada lagi sosok yang ditakutinya itu membuatnya segera memerintahkan segenap anak buahnya untuk berlayar menuju Riau. “Kita serang dan kuasai Riau!” teriaknya penuh semangat.
Kapal yang dinaiki si Jangoi tiba di wilayah perairan tempat si Jangoi dahulu bersumpah untuk tidak datang kembali ke Riau jika bakik yang dilemparkannya ke laut tidak timbul. Wilayah perairan itu terletak di antara Pulau Penyengat dan Teluk Keriting. Ketika itu si Jangoi tengah berada di anjungan kapal. Mendadak si Jangoi terjatuh dan sakit. Tampak parah sakit yang diderita pemimpin perompak yang terkenal kejam itu. Tabib yang kemudian didatangkan untuk mengobati penyakitnya pun tak mampu berbuat banyak. Tidak mampu ia menyembuhkan penyakit si Jangoi.
Si Jangoi merasa, sakit yang dialaminya itu karena ia telah melanggar sumpahnya dahulu. Ia sungguh-sungguh sangat menyesal. Namun, penyesalannya telah terlambat. Ia merasa ajalnya hampir tiba. Maka ia berpesan kepada sekalian anak buahnya untuk mengubur jenazahnya di tempat itu jika ia meninggal. Tak berapa lama setelah berpesan, si Jangoi pun menghembuskan napas terakhirnya. Sesuai pesan terakhirnya, jenazah si Jangoi diceburkan ke laut tempatnya dahulu ia bersumpah, di antara Pulau Penyengat dan Teluk Keriting.
Keajaiban pun terjadi setelah mayat si Jangoi tenggelam ke dasar laut. Mendadak muncul sebuah pulau di tempat itu. Pulau itu lantas diberi nama sesuai nama pemimpin perompak, Pulau Si Jangoi.
Pesan moral dari cerita dongeng nusantara – legenda pulau si janggoi adalah jika kita bersumpah, hendaknya kita tepati. Jangan pernah melanggar sumpah sendiri karena tidak baik akibatnya di kemudian hari.