Legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan (Cerita Rakyat Jawa Populer)

Legenda Jaka Tarub konon berasal dari desa Widodaren, kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, di Provinsi Jawa Timur. Menurut legenda, nama desa Widodaren berasal dari kata Bidadari yang diambil dari cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari ini.

Hal ini semakin diperkuat dengan ditemukannya petilasan makam Jaka Tarub di desa tersebut.

Cerita Jaka Tarub disimpan dalam sastra babad Jawi yang didalamnya terdapat sejarah raja-raja yang telah berkuasa di tanah Jawa mulai dari Dinasti Syailendra, Dinasti Sanjaya, Dinasti Medang Kamulan, Dinasti Kahuripan, Janggala, Kadiri, Dinasti Singhasari, Majapahit, Demak, Pajang, sampai kerajaan Mataram Islam.

Legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan

Jaka Tarub adalah pemuda yang tampan. Dia sangat populer di desanya.

Banyak gadis muda jatuh cinta padanya. Namun Jaka Tarub berpikir bahwa mereka tidak cukup cantik untuk menjadi istrinya.

Itu sebabnya dia masih lajang.

Dia ingin memiliki istri yang sangat cantik.

Seperti biasa Jaka Tarub pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu. Tiba-tiba dia mendengar suara dari air terjun.

Dia penasaran.

Suara itu terdengar seperti banyak gadis sedang mandi di air terjun didalam hutan.

Agak mengendap-endap, Jaka Tarub berjalan ke arah air terjun. Ketika dia tiba di sana, dia melihat tujuh gadis sangat cantik sedang mandi.

Dia benar-benar terpesona dengan kecantikan mereka.

Setelah mereka selesai mandi, gadis-gadis itu perlahan mengambil selendang mereka.

Hebatnya setelah mereka mengenakan selendang, mereka terbang ke langit.

“Mereka bukan manusia. Mereka Bidadari dari Kahyangan!” kata Jaka Tarub terkesima.

Setelah itu Jaka Tarub pulang.

Dia sangat gelisah.

Dia terus memikirkan tujuh gadis cantik itu.

Pada hari berikutnya, Jaka Tarub kemudian memutuskan untuk kembali ke air terjun.

Ketika para Bidadari itu mandi, dia mencuri salah satu selendangnya.

Legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan
Legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan

Dan itu membuat satu peri tidak bisa terbang kembali ke langit.

Dia menangis.

Jaka Tarub kemudian mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu menangis?”

“Aku kehilangan selendangku. Aku tidak bisa kembali ke rumah. Semua saudariku telah meninggalkanku. Namaku Nawang Wulan. Aku akan memberimu apa pun jika kamu dapat menemukan syalku.” kata peri itu.

“Aku akan membantumu. Tetapi jika kita tidak dapat menemukannya, kamu bisa tinggal di rumahku. Kamu bisa menjadi istriku,” kata Jaka Tarub.

Kemudian Jaka Tarub berpura-pura mencari selendang. Dan tentu saja mereka tidak dapat menemukannya.

Setelah itu mereka pergi ke rumah Jaka Tarub.

Kemudian mereka menikah. Mereka punya bayi perempuan.

Mereka memiliki kehidupan yang bahagia.

Mereka selalu punya cukup nasi untuk dimakan.

Mereka tidak harus bekerja keras seperti tetangga mereka yang lain.

Itu karena Nawang Wulan menggunakan sihirnya untuk memasak.

Suatu hari, Jaka Tarub bertanya kepada istrinya mengenai keanehan beras mereka yang tidak pernah habis.

Nawang Wulan tidak memberitahunya rahasia itu dan memintanya untuk jangan pernah membuka tutup panci saat memasak.

Dia mengatakan bahwa jika Jaka Tarub membuka tutupnya, mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan banyak nasi untuk dimasak.

Suatu hari, Jaka Tarub benar-benar ingin tahu. Dia kemudian membuka tutup panci memasak.

Dia terjekut ketika melihat hanya ada beberapa butir beras untuk dimasak.

Ketika Nawang Wulan sampai di rumah, dia tahu bahwa Jaka Tarub telah membuka tutupnya.

Dia marah karena dia sudah kehilangan keajaiban dalam memasak.

Sekarang dia harus mengambil nasi dalam porsi besar untuk dimasak.

Perlahan-lahan cadangan beras mereka di tempat penyimpanan semakin berkurang.

Dan ketika Nawang Wulan ingin mengambil beras terakhir, dia menemukan selendangnya.

Jaka Tarub menyembunyikan selendangnya di tempat penyimpanan beras.

Nawang Wulan sangat senang, sekaligus sedih. Dia kemudian berkata, “Aku akan pulang sekarang. Jaga putri kita. Ketika ada bulan purnama, bawa dia keluar dari rumah dan aku akan datang untuk menjemputnya.”

Nawang Wulan kemudian terbang ke langit.

Jaka Tarub sangat sedih.

Dan untuk menepati janji, Jaka Tarub selalu pergi keluar rumah bersama putrinya saat bulan purnama. Namun Nawang Wulan tidak pernah kembali.

Pernikahan Nawangsih, Putri dari Jaka Tarub dan Nawang Wulan

Nawang Wulan yang marah karena mengetahui bahwa suaminya adalah pencuri selendang miliknya akhirnya meninggalkan Jaka Tarub.

Walaupun Jaka Tarub memohon istrinya agar tidak pulang ke kahyangan. Namun tekad Nawang Wulan sudah bulat.

Hanya saja, pada waktu-waktu tertentu ia rela datang ke marcapada untuk menyusui bayi Nawangsih.

Setelah sekian lama Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dengan Brawijaya raja Majapahit.

Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub.

Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.

Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan.

Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.

Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Kisah legenda Jaka Tarub memiliki banyak versi yang sebagian sudah di posting di blog ini. Baca versi cerita Jaka Tarub lainnya pada posting berikut ini:

Sumber dan Pranala luar:

Daftar Pustaka:

  1. Agni, Danu. 2013. Cerita Anak Seribu Pulau.Yogyakarta: Buku Pintar.
  2. Komandoko, Gamal. 2013. Koleksi Terbaik 100 plus Dongeng Rakyat Nusantara, PT.Buku Seru.
  3. Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Narasi.