Tentunya adik-adik sudah tahu bahwa di negara Indonesia terdapat banyak sekali danau. Dan salah satu danau terbesar adalah danau Toba. Apakah adik-adik tahu bahwa ada sejarah asal usul danau Toba yang hingga saat ini menjadi legenda yang diceritakan turun temurun. Tuk kita simak cerita legenda Danau Toba yang sangat terkenal ini.
Danau Toba merupakan danau alami berukuran besar di Indonesia yang berada di kaldera Gunung Supervulkan. Danau ini memiliki panjang 100 kilometer (62 mil), lebar 30 kilometer (19 mi), dan kedalaman 1600 meter (5200 ft). Danau ini terletak di tengah pulau Sumatra bagian utara dengan ketinggian permukaan sekitar 900 meter (2953 ft).
Legenda dan Asal Usul Cerita Danau Toba dan Sejarah Pulau Samosir Lengkap
Alkisah pada jaman dulu di sebuah desa di Sumatra Utara hiduplah seorang pemuda bernama Toba. Ia hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Para penduduk di desa itu adalah petani. Demikian juga dengan Toba. Walaupun hanya memiliki sepetak sawah berukuran kecil peninggalan orang tuanya, Toba tidak pernah kekurangan.
Ia selalu bersyukur atas hal itu meski hidupnya tergolong sangat sederhana.
Pada suatu ketika, desa tempat tinggal Toba dilanda kemarau panjang. Para penduduk kesulitan air.
Sawah merekapun mengering. Persediaan di lumbung sudah hampir habis tapi hujan belum juga turun. Kekeringan yang melanda desanya tidak membuat Toba patah semangat.
Ia memutuskan untuk ganti haluan sementara. Toba berencana mencari ikan ke laut. Diajaknya para penduduk desa untuk bersama sama melaut.
Pagi itu Toba dan para pemuda lainnya mulai mengumpulkan jala ikan yang mereka punya.
Mereka juga menyiapkan perahu yang akan mereka pakai melaut. Setelah semua persiapan lengkap, berangkatlah Toba dan teman temannya sore itu.
Setelah bergantian mendayung beberapa lama, sampailah Toba dan teman temannya di tengah laut. Mereka mulai menebar jaring dan menunggu hasilnya.
Angin dingin yang berhembus tak mereka rasakan. Toba dan teman temannya menghabiskan waktu dengan berbincang sambil bersenda gurau.
Setelah menunggu dan menunggu, tak satupun jaring yang mereka tebar bergerak. Hari mendekati pagi. Akhirnya Toba dan teman temannya memutuskan untuk pulang. Dengan rasa lelah dan kecewa yang mendalam, mereka mengangkat jaring dan mendayung ke pantai. Rasa heran menghinggapi sebagian besar benak mereka termasuk Toba.
“Heran..mengapa di laut juga paceklik ? kemana ikan ikan di laut ini pergi?”, tanya Toba dalam hati.
Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka mencoba peruntungan lagi mencari ikan di laut. Tapi sungguh mengherankan, lagi lagi mereka pulang dengan tangan hampa. Bahkan beberapa kali setelahnyapun mereka tetap gagal walau telah berpindah pindah tempat.
Ikan ikan itu seolah lenyap ditelan bumi.
Para penduduk mulai putus asa. Mereka terancam kelaparan. Satu persatu keluarga mulai pergi meninggalkan desa. Mereka ingin mengadu nasib di kota.
Toba tetap bertahan di desanya. Ia merasa sedih jika harus meninggalkan rumah dan kampung tempat ia dibesarkan. Kenangan indah bersama orang tuanya membuatnya enggan untuk pergi.
Ia berpendapat Tuhan akan memberi rejeki dimanapun mahluknya berada asalkan mereka mau berusaha.
Toba mencoba lagi mencari ikan di laut. Kali ini ia seorang diri karena tak seorangpun yang mau diajak serta. Sore hari Toba berangkat. Ia mendayung perahunya pelan pelan.
Ia berpikir harus punya persediaan tenaga yang cukup karena ia harus mendayung sendiri.
Begitu tiba di tengah laut, Toba segera menebar jaring yang dibawanya. Ia menunggu hasil sambil menatap bintang bintang di langit.
Malam itu ia merindukan kembali masa kanak kanaknya.
Toba terkenang akan kedua orang tuanya yang telah tiada.
Tiba tiba jaringnya bergerak gerak. Toba terkejut. Ia segera menarik jaringnya dengan tergesa gesa.
“Berat sekali”, gumamnya. “Kelihatannya aku mendapat ikan yang sangat besar”, pikirnya lagi.
Toba tersenyum senang sambil terus berusaha menaikkan hasil tangkapannya ke dalam perahu.
Toba tertegun melihat seekor ikan besar yang berada di jalanya. Seekor ikan besar berwarna keemasan yang sangat cantik. “Ikan apa ini ?”, tanyanya dalam hati.
Toba merasa heran karena ia belum pernah melihat ikan seperti itu sebelumnya.
Karena hari sudah menjelang pagi, Toba memutuskan untuk mendayung perahunya ke pantai. Rasa lelah dan kantuk membuatnya ingin cepat cepat sampai di rumah.
Sambil mendayung, sesekali Toba memperhatikan ikan yang didapatnya. Sungguh aneh, ikan itu kelihatan sangat tenang. Bahkan Toba merasa ikan itu balas menatapnya.
Begitu sampai di rumah, ternyata ikan itu masih hidup. Karena tak tega melihatnya sangat lemas, Toba memasukkannya ke dalam sebuah tempayan besar yang berada di dapur.
Ikan itu bergerak perlahan. Terlihat ikan itu sangat senang karena Toba memasukkannya ke dalam air. Toba meninggalkannya dan beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.
Matahari sudah tinggi ketika Toba terbangun. Perutnya terasa sangat lapar karena ia belum makan apapun sejak kemarin sore.
Toba segera berjalan ke dapur guna mencari sisa sisa padi simpanannya. Iapun teringat akan ikan yang dibawanya pulang tadi pagi.
Toba sangat terkejut begitu tiba di dapur. Ia melihat aneka masakan terhidang di meja kecil yang terletak di sudut dapur.
“Makanan dari mana ini?”, pikirnya heran. “Siapa yang memasak semua ini?”. Toba sangat heran. Ia tertegun menatap semua itu.
Rasa lapar yang menderanya membuat Toba melupakan sejenak keheranannya.
“Mungkin Tuhan mengirim seseorang untuk mengantar makanan ini untukku”, pikirnya lagi. Ia segera mengambil piring dan mulai makan. Sungguh makanan yang sangat lezat. Belum pernah Toba merasakan makanan selezat itu.
Keesokan harinya Toba meninggalkan rumah pagi pagi. Ia pergi ke pantai hendak memeriksa kondisi perahunya.
Toba tidak putus asa, ia berniat melaut lagi nanti malam. Ia berpikir jika manusia mau berusaha, Tuhan pasti memberi rejeki.
Ketika pulang ke rumah siang harinya, Toba kembali terkejut melihat aneka makanan tersaji di meja kecilnya di sudut dapur. Toba memeriksa seluruh rumah sampai ke halaman belakang, ia tidak menemukan seorangpun.
“Aneh sekali”, gumamnya. “Siapa yang mengirim semua makanan ini untukku ?”, tanyanya heran.
Tapi lagi lagi Toba melupakan rasa herannya. Rasa lapar yang sedari tadi ditahannya membuatnya memutuskan untuk makan.
Sore hari tiba. Toba bersiap siap untuk berangkat. Nasib sial rupanya belum mau meninggalkan dirinya. Toba pulang dengan tangan hampa. Ia tak mendapat ikan seekorpun.
Siang hari ketika bangun tidur, kejadian yang sama terulang lagi.
“Sudah tiga hari ini seseorang menyediakan makanan lezat untukku. Siapakah dia ? Apa maksudnya ?”, gumam Toba penuh rasa heran. Toba makan sambil menyusun suatu rencana.
Ia ingin sekali menemukan siapa gerangan yang menyajikan makanan untuknya.
Keesokan paginya Toba pura pura meninggalkan rumah. Ia sekedar pergi menengok sawahnya yang kering. Tak berapa lama Toba kembali. Kali ini ia tidak langsung masuk ke dalam rumah. Toba berjalan mengendap endap menuju pintu dapur dari halaman belakang rumahnya.
Dari jauh Toba mencium bau masakan. “Ada seseorang yang sedang memasak”, pikirnya sambil terus berjalan.
Tiba di pintu dapur, Toba mengintip lewat celah celah papan pintu. Ia melihat seorang gadis cantik sedang sibuk memasak.
Tak sabar Toba segera membuka pintu dan melangkah masuk. Sang gadis terperanjat. Ia membalik tubuhnya dan menatap Toba dengan mimik sangat terkejut.
“Siapa kau ?”, tanya Toba. “Bagaimana kau bisa sampai di rumahku… ?”.
Gadis itu terdiam sejenak. Sambil menunduk ia berkata “Akulah ikan yang kau temukan di laut tempo hari..”.
Toba segera berjalan melihat ikan yang ditaruhnya di tempayan. Ikan itu tidak ada.
“Apa maksudmu ?”, suara Toba agak meninggi. “Bagaimana mungkin ikan bisa berubah menjadi manusia seperti dirimu ?”, tanyanya lagi.
Toba masih belum percaya.
“Aku adalah seorang putri yang dikutuk”, kata sang gadis sambil menatap Toba. “Kutukan itu hilang jika ada manusia yang mau memeliharaku”.
Akhirnya sang gadis menceritakan asal dirinya dan mengapa sampai ia dikutuk. Toba terkesima mendengar semua ceritanya.
“Tapi darimana kau mendapatkan bahan makanan untuk kau masak ?”, tanya Toba. Sungguh tidak masuk akal mengingat desanya yang sedang dilanda paceklik.
“Aku memang dibekali kemampuan menyediakan bahan makanan untuk kumasak. Kemampuan itu semata mata untuk tanda terima kasih kepada siapapun yang bersedia memeliharaku”, kata sang gadis pelan.
“Tapi sekarang kemampuan itu sudah hilang karena kau sudah tahu jati diriku”, lanjutnya lagi.
Toba merasa iba pada gadis itu. Ia mempersilahkan sang gadis untuk tetap tinggal di rumahnya jika ia mau.
Sang gadis sungguh senang. “Dari tadi aku belum tahu namamu”, kata Toba.
“Namaku Jelita Bang..”, kata sang gadis. “Apa kau tidak keberatan kupanggil abang ?”, tanyanya.
“Oh tak mengapa..”, jawab Toba. Ia mulai terpukau akan kecantikan Jelita.
Hari berganti hari. Toba dan Jelita hidup satu atap. Sungguh aneh. Sejak Toba bertemu Jelita, ia selalu mendapat banyak ikan jika melaut. Para penduduk desa yang lain akhirnya kembali mau melaut bersamanya.
Toba dan Jelita rupanya saling mencintai. Jelita langsung menerima ketika Toba melamarnya. Hanya ada satu syarat yang diajukan Jelita.
Ia minta agar Toba berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapapun asal usul dirinya. Tidak juga kepada anak mereka kelak. Toba berkata ia akan memegang teguh janjinya.
Pesta perkawinan mereka digelar sangat sederhana. Para penduduk tidak curiga ketika Toba mengakui Jelita sebagai seorang gadis yatim piatu yang berasal dari desa yang sangat jauh.
Tak lama setelah pesta usai, hujan turun dengan derasnya. Para penduduk sangat senang karena musim paceklik akan segera usai.
Toba dan Jelita hidup rukun. Mereka adalah sepasang suami istri yang serasi. Pasangan ini dikaruniai seorang anak laki laki yang mereka beri nama Samosir.
Samosir adalah seorang anak laki laki yang tampan. Badannya tegap seperti ayahnya. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Samosir kini telah berusia 10 tahun.
Sehari hari Toba bertanam padi di sawah. Pekerjaan yang telah dilakoni keluarganya turun temurun. Tiap siang, Jelita selalu membawakan makanan untuk suaminya. Terkadang Samosir dibawanya serta. Kesempatan itu mereka gunakan untuk bercengkrama.
Pada suatu ketika, Jelita merasa tidak enak badan. Ia meminta Samosir untuk membawakan makanan untuk ayahnya. Samosir tidak keberatan. Ia bahkan sangat senang bisa berjalan jalan sendiri tanpa ibunya. Ia merasa dirinya sudah besar.
Dalam perjalanan, Samosir bertemu dengan teman temannya yang mengajaknya bermain. Tanpa pikir panjang ia langsung bergabung dengan mereka. Samosir lupa akan tugas yang diberikan ibunya. Hari sudah menjelang sore ketika Samosir teringat akan makanan ayahnya. Dengan setengah berlari, Samosir bergegas ke sawah.
Sampai disana dilihatnya ayahnya sedang terduduk lemas di pinggir sawah. “Dari mana saja kau ? mana ibumu ?”, bentak Toba marah. Ia sangat lapar. Samosir takut sekali. Belum pernah ia melihat ayahnya semarah itu.
“Ibu sakit, Pak…”, kata Samosir sambil menunduk. “Ibu minta tolong aku untuk mengantar makanan ini”.
“Kenapa kau lama sekali…?”, sergah Toga. Marahnya belum reda.
“Maafkan aku Pak. Aku lupa. Aku asyik bermain dengan teman temanku”, suara Samosir bergetar menahan tangis.
“Ya sudah. Bawa kemari makanan itu”, kata Toba. Suaranya mulai melunak. “Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu ini. Hampir pingsan bapakmu ini kau buat..”.
Sore itu, ayah dan anak berjalan pulang dalam kesunyian. Mereka memilih untuk diam.
Keesokan harinya Jelita belum sehat. Ia belum kuat untuk mengantar makanan buat suaminya. Jelita minta tolong Samosir sambil berpesan agar jangan terlambat. Toba telah menceritakan kealpaan Samosir kemarin kepadanya.
Siang itu udara sangat panas. Matahari bersinar begitu teriknya. Samosir merasa dirinya lelah. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah pohon. Angin semilir membuatnya tertidur. Hari sudah menjelang sore ketika ia terbangun.
Alangkah terkejutnya Samosir ketika menyadari dirinya kembali terlambat membawakan makanan untuk ayahnya. Lebih terlambat dari kemarin bahkan. Tanpa kenal lelah Samosir berlari menuju ke sawah. Dari jauh ia melihat ayahnya sedang duduk sendirian di pinggir sawah.
“Darimana saja kau ?”, teriak ayahnya begitu melihat kedatangan Samosir. “Kau sengaja membiarkan aku kelaparan disini ??”, bentaknya lagi. Hari yang panas membuatnya sangat lelah. Emosinya tak terkontrol lagi.
“Kenapa kau diam saja ?”, kembali Toba membentak anaknya. Samosir tak mampu menatap ayahnya. Apalagi berkata kata. Ia hanya diam menunduk. “Jawab !!”, suara Toba terdengar menggelegar. Dengan penuh amarah ia meraih bungkusan makanan yang dibawa anaknya dan melemparnya ke sawah. “Dasar anak ikan..!!”, ujarnya lagi. Tangannya sampai gemetar menahan marah.
Samosir terkejut mendengar makian ayahnya. “Kenapa bapak bilang aku anak ikan ?”, tanyanya dengan berurai air mata.
“Memang kau anak ikan..!! Ibumu itu dulunya seekor ikan..!!”, jawab Toba dengan nada tinggi. Samosir berbalik arah dan berlari meninggalkan ayahnya. Toba terkesiap. Seketika itu juga ia sadar telah melanggar janji. Toba segera berlari menyusul sambil memanggil manggil anaknya. Samosir tak mendengar. Ia terus berlari sambil menangis.
Tiba di rumah Samosir masih saja menangis. Bahkan tambah keras. Jelita yang sedang berbaring terkejut melihat anaknya yang pulang sambil menangis.
“Kenapa kau nak ?”, tanyanya lembut sambil membelai rambut Samosir.
“Kata bapak aku anak ikan bu…”, kata Samosir sesegukan. “Apa benar ibu dulunya seekor ikan ?”, tanya Samosir sambil menengadah menatap wajah ibunya. Airmatanya mengalir deras.
Bagai tersambar petir Jelita mendengar penuturan anaknya. Jantungnya berdegub kencang. Wajahnya pucat. Toba yang baru tiba di depan pintu rumahnya tak mampu berbuat apa apa melihat istri dan anaknya yang berpelukan sambil menangis.
Jelita yang menyadari kedatangan suaminya segera berkata “Mengapa abang melanggar janji… ??”, tanyanya dengan nada kecewa yang mendalam.
“Rupanya kebersamaan kita ditakdirkan hanya sampai disini..”, kata Jelita pelan. Ia menuntun Samosir berjalan keluar rumah.
“Maafkan abang, Jelita..”, kata Toba sambil berusaha menahan kepergian istri dan anaknya.
“Terlambat bang…”, jawab Jelita tegas. “Aku harus pergi meninggalkanmu. Samosir kubawa serta..”, jawab Jelita sambil terus berjalan meninggalkan rumah. Samosir yang tak mengerti hanya diam saja.
Toba berteriak teriak memanggil istri dan anaknya. Jelita dan Samosir tak bergeming. Mereka terus berjalan. Tak berapa lama kemudian langit gelap gulita. Hujan turun dengan derasnya. Kilat menyambar nyambar menyilaukan mata.
Sungguh aneh. Hujan deras tak jua mau berhenti. Desa tempat tinggal Toba tenggelam dibuatnya. Genangan air makin lama makin melebar. Itulah yang dikenal sebagai Danau Toba sekarang.
Ketika banjir melanda, Jelita dan Samosir telah tiba di sebuah dataran yang tinggi. Mereka tidak ikut tenggelam. Dataran itu sekarang dikenal sebagai Pulau Samosir yang berada ditengah tengah Danau Toba.
Pesan moral dari Legenda dan Asal Usul Cerita Danau Toba dan Sejarah Pulau Samosir Lengkap ini adalah peganglah janji yang telah kamu ucapkan. Jangan mengecewakan orang lain karena kamu tidak bisa menepati janji. Orang yang ingkar janji tidak akan disukai oleh teman-temannya.
Baca versi lain cerita rakyat asal mula danau Toba lainnya pada posting kami sebelumnya yaitu:
- Cerita Legenda Danau Toba : Dongeng Rakyat Sumatera Utara
- Kisah Dongeng Danau Toba Cerita Rakyat Sumatera Utara
- Cerita Rakyat Indonesia Danau Toba
- Cerita Rakyat Sumatera Utara Danau Toba Dan Lubuk Emas
- Cerita Rakyat Asal Usul Danau Toba
- Cerita Rakyat Indonesia : Dongeng Danau Toba
- Cerita Rakyat Danau Toba dari Sumatra Utara
- Cerita Rakyat Sumatera Utara : Asal Mula Danau Toba