Kisah Rakyat Pan Balang Tamak dan I Gusti Gede Pasekan adalah dua dari Kumpulan Cerita Cerita Rakyat yang paling terkenal di wilayah Bali. Kedua cerita rakyat ini memiliki Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Dalam Cerita Rakyat yang sangat khas yaitu penganan khas bali yaitu Abug Iwel dan kepercayaan kepada Sang Hyang Dewata Agung dalam agama Hindu yang merupakan agama mayoritas masyarakat Bali. Banyak sekali Kumpulan Cerita Cerita Rakyat Bali yang menarik untuk diketahui, dua legenda yang kami ceritakan hari ini merupakan diantaranya, yuk kita simak sama-sama.
Kumpulan Cerita Cerita Rakyat Bali : Pan Balang Tamak Yang Licik
Hiduplah seorang lelaki di Bali pada zaman dahulu. Pan Balang Tamak namanya. Pan Balang Tamak dikenal selaku orang yang licik dan cerdik. Kecerdikannya kerap digunakannya untuk berbuat licik. Ia juga dikenal selaku sosok pembohong, sombong, pemalas, dan jarang bergaul dengan orang lain. Orang-orang di desanya tidak menyukai Pan Balang Tamak. Sang Kepala Desa di mana Pan Balang Tamak tinggal termasuk orang yang tidak senang dengan Balang Tamak.
Kepala Desa merencanakan cara untuk menghukum Pan Balang Tamak. Setelah dipikirkannya masak-masak, sang Kepala Desa akhirnya menemukan cara. Ia lantas memerintahkan agar segenap warga untuk melaksanakan perburuan bersama. “Siapa yang tidak turut dalam perburuan bersama itu akan dikenakan hukuman berupa denda!” begitu pengumuman sang Kepala Desa.
Kepala Desa memerintahkan segenap warga desa pimpinannya untuk berkumpul dan berangkat setelah ayam jantan berkokok dan mulai turun mencari makan.
Pan Balang Tamak jelas mengetahui adanya pengumuman dari kepala desa itu. Ia juga bisa merasakan adanya niat kepala desa untuk menghukum dan menjatuhkan denda padanya. Ia pun merencanakan siasat licik untuk menghadapinya.
Pada hari yang telah ditentukan, warga desa berdatangan di rumah kepala desa tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Hanya Pan Balang Tamak sendiri yang tidak terlihat di tempat itu. Warga desa yakin, kali ini Pan Balang Tamak tidak akan dapat lagi mengelak dari tuntutan hukuman dan denda yang akan dijatuhkan Kepala Desa.
Pan Balang Tamak akhirnya datang juga ke tempat pertemuan itu meski sangat terlambat dari waktu yang ditentukan. Ia terlihat tenang seraya menuntun seekor anak anjing miliknya ketika datang ke pertemuan warga tersebut. Ia tetap juga terlihat tenang dan tidak sedikit pun memperlihatkan rasa bersalahnya karena datang sangat terlambat dan mendapat ejekan warga desa lainnya.
Ketika perburuan dimulai, Pan Balang Tamak turut pula dalam kegiatan tersebut. Tanpa diketahui warga lainnya, Pan Balang Tamak melemparkan anak anjing miliknya ke semak-semak berduri. Anak anjing itu pun meraung-raung kesakitan karena tubuhnya terkena duri-duri tajam. Orang-orang yang tengah berburu terperanjat dan buru-buru mendatangi Pan Balang Tamak. Mereka mendapati Pan Balang Tamak tengah menimang-nimang anjingnya itu dan membersihkan darah dari tubuh anjingnya.
“Pan Balang Tamak, apa yang terjadi dengan anjingmu itu?” tanya sang Kepala Desa.
“Anjingku ini tadi habis bertarung dengan seekor babi hutan besar.” jawab Pan Balang Tamak berbohong. “Ia begitu gigih bertarung hingga sekujur tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah.”
“Kemana babi hutan itu Iari?” tanya seorang warga.
Pan Balang Tamak menunjuk ke sebuah arah. “Kesana!” jawabnya.
Maka, warga desa pun segera bergerak ke arah yang ditunjukkan Pan Balang Tamak. Sementara Pan Balang Tamak sendiri hanya duduk seraya terus membersihkan darah dari luka di tubuh anjing miliknya. Dengan cara itu maka Pan Balang Tamak tidak harus bersusah-payah mengikuti perburuan. Siasat Iiciknya telah berhasil mengelabui Kepala Desa dan juga warga desa lainnya.
Perburuan pun berakhir ketika waktu senja tiba. Mereka kembali tanpa mendapatkan seekor hewan buruan pun. Sebelum kembali ke rumah masing-masing, Kepala Desa memerintahkan segenap warga desa untuk berkumpul keesokan harinya. Warga desa mengetahui, Kepala Desa akan menghukum Pan Balang Tamak karena berani melanggar perintah Kepala Desa.
Pan Balang Tamak mengetahui jika dirinya akan dijatuhi hukuman Kepala Desa. Namun ia tidak terlihat resah atau takut. Setibanya di rumah, ia malah menyuruh istrinya untuk membuat abug iwel (Sejenis penganan atau kue yang terbuat dari ketan). “Bentuklah abug iwel itu hingga menyerupai tahi anjing.”
Istri Pan Balang Tamak keheranan mendengar ucapan suaminya. “Untuk apa abug iwel dibentuk menyerupai tahi anjing, Pan?” tanyanya.
“Sudahlah, jangan banyak tanya.” jawab Pan Balang Tamak. “Aku akan mengolok-olok Kepala Desa karena akan menjatuhkan hukuman untukku. Aku akan buktikan, aku lebih cerdik dibandingkan Kepala Desa.”
Meski tidak mengetahui rencana suaminya yang sebenarnya, istri Pan Balang Tamak menuruti perintah suaminya. Ia membuat abug iwel dan membentuknya hingga menyerupai tahi anjing.
Keesokan harinya, Pan Balang Tamak pagi-pagi telah datang di Balai Desa. Secara sembunyi- sembunyi ia meletakkan abug iwel buatan istrinya itu di bawah tiang Balai Desa. Diberinya air di sekitar abug iwel itu hingga kian mengesankan air kencing anjing. Selesai dengan tugas rahasianya itu Pan Balang Tamak lantas kembali ke rumahnya. Ia mandi dan beberapa saat kembali ia berangkat ke Balai Desa untuk bergabung dengan warga desa lainnya.
Setelah semua warga desa berkumpul, Kepala Desa lantas menghadapkan Pan Balang Tamak kepadanya. Katanya, “Engkau harus kami hukum karena telah melanggar perintah Kepala Desa. Hukuman untukmu adalah membayar denda.”
Dengan wajah yang menyiratkan kepolosan, Pan Balang Tamak menyahut, “Mengapa aku harus dihukum? Apa kesalahanku? Bukankah aku telah mematuhi perintah Kepala Desa?”
“Patuh pada perintah Kepala Desa bagaimana maksudmu?” kata Kepala Desa dengan wajah yang menyiratkan kemarahan. “Bukankah aku telah umumkan agar segenap warga desa datang dan berkumpul di Balai Desa ketika ayam jago berkokok dan turun untuk mencari makan? Lantas, bagaimana dengan dirimu sendiri?”
Dengan suara lantang Pan Balang Tamak menjelaskan, jika ia tidak mempunyai ayam jago, walau seekor pun. Ayam yang dimilikinya hanyalah ayam betina yang tengah mengerami telur-telurnya. “Tentu saja ayamku tidak berkokok. Sesuai perintah Kepala Desa, aku langsung berangkat ke Balai Desa setelah ayarnku turun untuk menari makan. Bukankah aku telah mematuhi perintah Kepala Desa? Lantas, bagaimana mungkin aku harus dihukum dengan membayar denda?”
Kepala Desa dan segenap warga desa tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menyanggah penjelasan Pan Balang Tamak. Mereka semua mengetahui, Pan Balang Tamak memang hanya mempunyai seekor ayam betina. Jika ia datang ke Balai Desa setelah ayam betinanya turun untuk mencari makan, maka jelas Pan Balang Tamak tidak bisa disalahkan karenanya.
Pan Balang Tamak akhirnya dibebaskan dari hukuman denda. Pan Balang Tamak lantas berlagak. Diperhatikannya keadaan di bawah tiang Balai Desa.
Katanya kemudian dengan wajah bersungut-sungut seraya menunjuk pada abug iwel, “Balai Desa ini tampak kotor. Lihat banyak tahi anjing di dekat tiang ini:’
Kepala Desa dan beberapa warga desa melihat ke arah yang ditunjuk Pan Balang Tamak. Mereka dapat membenarkan ucapan Pan Balang Tamak.
Mendadak Pan Balang Tamak berujar, “Aku menantang siapa pun di antara kalian. Siapa pun yang berani memakan tahi anjing ini, aku akan membayarnya sepuluh ringgit!”
Kepala Desa sangat jengkel mendengar ucapan Pan Balang Tamak. “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Jika engkau berani memakan tahi anjing itu, aku akan membayar dua kali lipat dari tawaranmu! Bagaimana? Engkau berani menerima tantanganku?”
Pan Balang Tamak pura-pura berpikir dan menimbang-nimbang. Ia terus berlagak hingga Kepala Desa dan orang-orang kian bersemangat memintanya untuk melakukan tantangan Kepala Desa. Dengan tetap berlagak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Pan Balang Tamak lalu memakan abug iwel yang dibentuk menyerupai tahi anjing itu.
Kepala Desa maupun warga desa yang melihat Pan Balang Tamak memakan ‘tahi anjing` menjadi mual perutnya. Mereka menutup mulutnya dan tak sanggup melihat aksi Pan Balang Tamak. Kepala Desa lantas memberikan uang dua puluh ringgit untuk Pan Balang Tamak dan memintanya untuk segera pulang.
Pan Balang Tamak pulang dengan wajah berseri-seri. Kecerdikannya untuk berbuat licik kembali memperdaya Kepala Desa dan juga warga desa tempat tinggalnya.
Pesan moral dari kumpulan cerita cerita rakyat : Pan Balang Tamak yang licik adalah kecerdikan sudan seharusnya tidak dilakukan untuk berbuat kelicikan atau memperdaya orang lain. Kecerdikan hendaknya digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan.
Kumpulan Cerita Cerita Rakyat Bali : I Gusti Gede Pasekan
Syahdan pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang memerintah Kerajaan Klungkung. Sri Sagening nama sang raja itu.Ia mempunyai banyak istri. Istri terakhirnya bernama Ni Luh Pasek.
Ketika Ni Luh Pasek mengandung, ia disingkirkan secara halus oleh Sri Sagening. Suaminya itu menikahkannya dengan Kyai Jelantik Bogol. Tak terkirakan kecewanya Ni Luh Pasek mendapati perlakuan buruk suaminya itu. Ia hanya bisa menerima kenyataan yang sangat mengesalkan hatinya itu. Secercah keberuntungan masih didapatkan Ni Luh Pasek, karena Kyai Jelantik Bogol mencintai dan menyayanginya sepenuh hati. Ni Luh Pasek pun akhirnya dapat menerima kenyataan yang harus dihadapinya. Bahkan, ia dapat hidup berbahagia dengan suaminya itu. Hingga ketika waktu melahirkan baginya tiba, Ni Luh Pasek melahirkan seorang bayi lelaki. Sehat dan tidak kurang suatu apapun juga bayi lelaki itu. Diberinya nama I Gusti Gede Pasekan untuk bayi Ielakinya itu. Kian berbahagia hati Ni Luh Pasek karena suaminya benar-benar mencintai dan menyayangi I Gusti Gede Pasekan laksana cinta dan kasih sayangnya kepada anak kandungnya sendiri.
I Gusti Gede Pasekan tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat, dan cerdas. Baik pula perilaku dan budi pekertinya. Semakin bertambah usianya semakin terlihat bakat dan kemampuannya dalam memimpin. Kewibawaannya terpancar keluar. Dikenal sakti pula dirinya.Ia sepertinya ditakdirkan Sang Hyang Dewata Agung selaku pemimpin. Dengan semua kelebihan yang terdapat padanya, orang-orang pun rnencintai dan menghormati I Gusti Gede Pasekan.
Ketika I Gusti Gede Pasekan berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memerintahkannya untuk pergi ke Den Bukit di daerah Panji. “Daerah itu adalah tempat kelahiran ibumu. Pergilah ke sana bersama ibumu. Semoga Sang Hyang Dewata Agung senantiasa melindungi kalian dan memberi kalian keselamatan:’
I Gusti Gede Pasekan segera berangkat memenuhi perintah ayah tirinya. Empat puluh pengawal turut serta dengannya. Mereka dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Kadosot. I Gusti Gede Pasekan juga membawa dua pusaka pemberian Kyai Jelantik Bogol, yaitu tombak Ki Tunjung Tutur dan keris Ki Baru Semang. Setelah melakukan perjalanan selama empat hari, tibalah mereka di daerah Batu Menyan. Mereka pun berniat bermalam di tempat itu.
Meski Ki Dumpiung dan Ki Kadosot telah memberikan pengawalan sebaik mungkin, tetap tak mampu mereka menjaga agar tidak terjadi penyusupan. Sang penyusup adalah makhluk gaib penghuni hutan di daerah Batu Menyan itu. Si makhluk gaib menemui I Gusti Gede Pasekan dan mengajaknya terbang. Tanpa ragu-ragu I Gusti Gede Pasekan menuruti ajakan makhluk gaib itu.
I Gusti Gede Pasekan merasa takjub ketika melihat pemandangan dari atas. Dilihatnya daratan dan lautan yang sangat indah, meski waktu itu masih malam hari. Ketika ia menatapkan pandangannya ke arah timur dan barat laut, ia melihat pulau-pulau di kejauhan. Ketika melihat ke arah selatan, ia melihat sebuah gunung yang tinggi menjulang Iaksana paku bumi.
Si makhluk gaib mengembalikan I Gusti Gede Pasekan ke tempatnya semula. Seketika makhluk gaib itu menghilang, I Gusti Gede Pasekan mendengar bisikan suara gaib, “Wilayah-wilayah yang engkau lihat tadi kelak akan menjadi wilayah kekuasaanmu.”
Meski masih terheran-heran, tak urung gembira juga hati I Gusti Gede Pasekan seandainya apa yang dibisikkan suara gaib itu menjadi kenyataan. Bukankah menguasai wilayah-wilayah yang amat luas itu berarti ia akan mendapatkan suatu kedudukan yang sangat mulia?
Kejadian menggetarkan itu lantas diceritakan I Gusti Gede Pasekan kepada ibunya. Ni Luh Pasek turut merasa gembira pula. Ia turut mendoakan agar bisikan suara gaib itu benar-benar akan mewujud pada diri putranya itu. ia pun memberi nasihat, “Anakku, hendaknya engkau senantiasa berusaha sekuat kemampuanmu untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginanmu.”
Rombongan itu pun meneruskan perjalanan mereka menuju Den Bukit di daerah Panji. Rintangan dan halangan yang mereka temui kian berat, jauh melebihi beratnya rintangan maupun halangan yang mereka temui hingga tiba di Batu Menyan. Namun, semua rintangan dan halangan itu berhasil mereka lewati. Tibalah mereka kemudian di daerah Panji dengan selamat. Mereka kemudian bermukim di tempat kelahiran Ni Luh Pasek itu.
Syandan pada suatu hari sebuah perahu besar terdampar di pantai Panimbangan, tak jauh dari tempat tinggal I Gusti Gede Pasekan dan rombongannya. Perahu besar itu berasal dari Bugis. Nakhoda dan segenap awak kapal telah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan perahu mereka, namun tetap usaha mereka itu tidak menemui keberhasilan. Para nelayan di pantai Panimbangan telah pula turut berusaha membebaskan perahu yang terdampar itu, namun tetap juga perahu besar itu tidak bisa kembali ke laut. Di tengah rasa bingung dan hampir putus asa, nakhoda kapal didatangi Kepala Kampung. Kata sang Kepala Kampung, “Hanya ada seorang yang mampu membebaskan perahu Tuan yang kandas itu.”
“Siapa dia?”
“I Gusti Gede Pasekan namanya;” jawab sang Kepala Kampung. “Ia pemuda sakti yang sangat berwibawa. Jika engkau meminta bantuan padanya, niscaya ia akan mampu mengatasi masalah besar yang tengah Tuan alami ini.”
Nakhoda kapal segera menemui I Gusti Gede Pasekan. Ia meminta bantuan I Gusti Gede Pasekan dan berjanji akan memberikan sebagian muatan perahu kepada I Gusti Gede Pasekan jika perahu besar yang dikemudikannya itu dapat terbebas.
“Baiklah,” jawab I Gusti Gede Pasekan, “aku akan mencobanya.”
Bersama sang nakhoda kapal, I Gusti Gede Pasekan segera menuju pantai Panimbangan. Seketika tiba di pantai Panimbangan dan melihat kondisi perahu yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan lantas mengeluarkan dua senjata andalannya, tombak Ki Tunjung Tutur dan keris Ki Baru Semang. Tiba-tiba muncullah dua makhluk gaib yang luar biasa besar tubuhnya dari dalam dua senjata pemberian Kyai Jelantik Bogol tersebut. Keduanya hanya dapat dilihat I Gusti Gede Pasekan dan sama sekali tidak tampak pada pandangan orang-orang lainnya.
I Gusti Gede Pasekan lantas memerintahkan dua makhluk gaib itu untuk menyeret perahu besar itu dari pantai Panimbangan.
Dengan kekuatan gaibnya, kedua makhluk gaib itu menyeret dan membebaskan perahu dari kondisi kandasnya. Perahu pun kembali dapat ke taut lepas.
Tak terkirakan keheranan dan keterkejutan orang-orang mendapati perahu yang kandas itu berhasil ditarik oleh sesuatu kekuatan yang tidak terlihat, sementara yang tampak pada mereka hanyalah I Gusti Gede Pasekan yang berdiri seraya menunjuk-nunjuk pada perahu.
Nakhoda berikut seluruh awak kapal amat bergembira setelah mendapati perahu mereka dapat kembali ke laut. Sang nakhoda lantas memenuhi janjinya. Sebagian dari muatan perahu yang sangat berharga itu diberikan kepada I Gusti Gede Pasekan. Di antara benda-benda yang diberikan kepada I Gusti Gede Pasekan adalah dua buah gong besar. Dengan banyaknya barang-barang pemberian itu membuat I Gusti Gede Pasekan menjadi sosok yang kaya raya. Namanya kian disegani, terutama karena kesaktian dan kewibawaannya. Karena kekayaan dan juga kesaktiannya, orang-orang pun menggelari I Gusti Gede Pasekan dengan gelar I Gusti Panji Sakti.
I Gusti Panji Sakti lantas mendirikan kerajaan di Den Bukit di daerah Panji tersebut. Orang-orang yang mendengar dan mengetahui kebaikan, kewibawaan, dan kesaktiannya datang berbondong-bondong ke daerah tersebut untuk menjadi rakyat kerajaannya. Rakyat di daerah-daerah lain juga menyatakan tunduk pada kekuasaan I Gusti Panji Sakti. Tak berapa lama kemudian wilayah kekuasaan I Gusti Panji Sakti telah meluas. Ibukota kerajaan itu kian dikenal meluas dengan nama Sukasada. Di sebelah utara Sukasada itulah I Gusti Panji Sakti mendirikan pusat pemerintahan kerajaannya yang diberinya nama Buleleng. Ada pun kerajaan baru itu lantas diberi nama Singaraja.
Pesan moral dari Kumpulan Cerita Cerita Rakyat Bali : I Gusti Gede Pasekan adalah patuh pada perintah orangtua dan berusaha keras akan dapat mewujudkan cita-cita menjadi kenyataan. Keberhasilan hanya akan diraih dengan kerja keras dan juga usaha yang tidak mengenal kata menyerah.
cerita rakyat sangat penting dikenalkan kepada anak-anak karena anak-anak sekarang mungkin tidak tahu masa lalu, tapi melalui cerita rakyat anak-anak bisa melakukan flash back tentang bagaimana kehidupan masa lalu…bahkan cerita rakyat bisa memotivasi kreativitas anak2 dan membuat mereka selalu senang belajar