Kumpulan Cerita Betawi : Si Jampang Dan Pangeran Sarif

Kisah rakyat Si Jampang Dan Pangeran Sarif merupakan dua dari Kumpulan Cerita Betawi yang paling populer. Kedua cerita ini berlatar waktu saat kompeni Belanda sedang menjajah negeri tercinta kita. Dengan caranya masing-masing Si Jampang dan Pangeran Sarif berjuang untuk kepentingan rakyat yang saat itu sangat tertindas. Adik-adik dapat mengambik hikmah yang baik dari cerita ini dan jangan mencontoh yang tidak baik. Penasaran dengan cerita kepahlawanan mereka. Yuk sama-sama kita ikuti cerita rakyat betawi ini

Kumpulan Cerita Betawi : Legenda Si Jampang

Jampang adalah lelaki Betawi yang hidup pada masa Indonesia masih dijajah Belanda. Ia dikenal tinggi ilmu silatnya. Piawai pula memainkan golok untuk senjata. Sejak masih muda usianya, Si Jampang suka merampok. Hingga kemudian ia menikah, tetap juga kebiasaannya merampok itu dilakukannya. Bahkan ketika istrinya meninggal dunia dan anaknya telah beranjak remaja.

Meski dikenal sebagai perampok, Si Jampang tidak ingin anaknya itu mengikuti jejaknya. Ia menghendaki anaknya menjadi ahli agama. Maka, hendak dimasukkannya anaknya itu ke pesantren. Anak Si Jampang bersedia masuk pesantren dengan syarat ayahnya itu menghentikan tindakan buruknya. “Masak anaknya mengaji di pesantren tapi babehnya kerjaannya merampok? Apa kata orang nanti, Be?”

Si Jampang hanya tertawa mendengar ucapan anaknya. Pada suatu hari Si Jampang mengunjungi Sarba, sahabat Iamanya. Ia telah lama tidak berkunjung. Sama sekali tidak disangkanya jika sahabatnya itu telah meninggal dunia.

Ia ditemui Mayangsari, istri mendiang Sarba. Mayangsari bercerita, ia dan suaminya itu dahulu berziarah ke Gunung Kepuh Batu. Mereka berdoa di tempat itu dan memohon agar dikaruniai anak. Sarba berjanji,jika doanya dikabulkan, ia akan menyumbang dua ekor kerbau. Doa mereka akhirnya dikabulkan Tuhan. Mayangsari hamil dan akhirnya melahirkan seorang anak lelaki yang mereka beri nama Abdih. Ketika Abdih beranjak remaja, Sarba meninggal dunia. “Kata orang, suami aye’ itu meninggal karena lupa pada janjinya yang akan menyumbang dua ekor kerbau.”

Mendapati Mayangsari telah menjanda sementara dirinya juga telah menduda, Si Jampang lantas melamar Mayangsari. Namun, Mayangsari menolak dengan kasar pinangan Si Jampang. Si Jampang yang sakit hati lalu mencari dukun untuk mengguna-gunai Mayangsari. Dengan bantuan keponakannya yang bernama Sarpin, didapatkannya dukun itu. Pak Dul namanya, seorang dukun dari kampung Gabus. Si Jampang lantas mengguna-gunai Mayangsari dengan guna-guna dari Pak Dul.

Mayangsari jadi gila setelah terkena guna-guna. Ia sering berbicara dan tertawa sendiri. Abdih yang sangat prihatin pun berusaha mencari cara untuk menyembuhkan kegilaan yang dialami ibunya. Abdih lantas mencari dukun. Kebetulan dukun yang ditemuinya adalah Pak Dul dari kampung Gabus hingga Pak Dul dapat dengan mudah melepaskan gunaguna yang mengena pada diri Mayangsari.

Si Jampang lantas menemui Abdih dan menyatakan minatnya untuk memperistri ibu Abdih itu.

“Aye tidak menolak pinangan Mang’ Jampang untuk ibu aye, tapi aye minta syarat, Mang,” jawab Abdih.

“Syarat apa yang kamu minta?”

“Aye minta sepasang kerbau untuk mas kawinnya, Mang,”

Si Jampang menyanggupi, meski sepasang kerbau bukan perkara yang gampang untuk didapatkan Si Jampang. Si Jampang berusaha memikirkan cara untuk mendapatkan sepasang kerbau. Teringatlah ia pada Haji Saud yang tinggal di Tambuh. Haji Saud sangat kaya, namun sangat kikir. Si Jampang lantas menghubungi Sarpin dan mengajak keponakannya itu merampok rumah Haji Saud.

Rupanya, rencana perampokan itu telah diketahui Haji Saud. Haji Saud telah menghubungi polisi. Para polisi segera bersiaga di sekitar rumah Haji Saud. Maka, ketika Si Jampang dan Sarpin yang mengenakan baju hitam-hitam itu datang hendak merampok, para polisi segera mengepungnya. Si Jampang ditangkap dan dipenjarakan. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati.

Kematian Si Jampang disambut gembira para tauke dan tuan tanah karena merasa terbebas dari keonaran yang dilakukan Si Jampang. Namun, kematian Si Jampang ditangisi rakyat miskin. Meski dikenal selaku perampok, namun Si Jampang banyak memberikan bantuannya kepada mereka. Kebanyakan Si Jampang membagi-bagikan hasil rampokannya itu kepada mereka yang membutuhkan. Bagi rakyat miskin, Si Jampang adalah sosok pahlawan.

Pesan moral dari kumpulan cerita betawi : legenda si jampang adalah menegakkan kebenaran memang berat. Meski demikian hendaklah kita senantiasa menegakkan kebenaran karena kebenaran adalah sesuatu yang akan dikenang sepanjang zaman.

Kumpulan Cerita Betawi : Kisah Rakyat Perjuangan Pangeran Sarif

Pangeran Sarif adalah salah seorang ulama di Betawi. Ia terpaksa menyingkir keluar dari Jayakarta setelah Jayakarta dikuasai Kompeni Belanda. Bersama para ulama dan kekuatan lain yang menentang Kompeni Belanda, Pangeran Sarif menyusun kekuatan secara sembunyi-sembunyi. Ia sangat membenci penjajahan manusia atas manusia lainnya seperti yang dilakukan Kompeni Belanda terhadap bangsanya. Pangeran Sarif yakin, suatu saat kekuatan Kompeni Belanda akan dapat diusir dari Jayakarta.

Kumpulan Cerita Betawi Kisah Rakyat Perjuangan Pangeran Sarif
Kumpulan Cerita Betawi Kisah Rakyat Perjuangan Pangeran Sarif

Dalam pengungsiannya, Pangeran Sarif tetap aktif menyebarkan agama Islam. Ia memberikan pelajaran menulis huruf Arab dan membaca Al Qur’an. Dengan ketinggian ilmu agama yang dimilikinya, Pangeran Sarif juga menjelaskan makna dan tafsir ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Penjelasannya disampaikannya dalam bahasa sederhana yang kerap diselingi dengan humor hingga dapat ditangkap dengan mudah oleh murid-muridnya. Kian bertambah hari kian banyak saja orang yang datang kepada Pangeran Sarif dan meminta menjadi muridnya.

Pangeran Sarif kerap berkeliling dari daerah ke daerah lainnya untuk menyebarkan agama Islam dan juga menyusun kekuatan untuk menentang Kompeni Belanda. Pada suatu hari Pangeran Sarif menuju daerah Pasar Minggu. Ia hendak menuju desa Bendungan. Ketika sampai di pinggir kali Ciliwung, gerimis turun. Pangeran Sarif segera mengenakan kerudung di kepalanya untuk melindungi kepalanya dari air hujan. Mendadak Pangeran Sarif melihat sebuah perahu yang terlihat menuju arah kota.

Sejenak berbincang-bincang, pemilik perahu menyatakan kepada Pangeran Sarif bahwa ia hendak menuju kota. Pangeran Sarif lalu meminta diri dan secepatnya menyelinap dijalan setapak di antara semak-semak. Pangeran Sarif perlu melakukan tindakan itu untuk menghilangkan jejak. Ia perlu berhati-hati, terutama kepada orang yang hendak menuju kota. Bisa jadi, orang itu akan melaporkan keberadaannya kepada Kompeni Belanda. Menurut kabar yang didengarnya, dirinya termasuk salah satu orang yang paling dicari oleh pernerintah Kompeni Belanda karena dianggap amat luas pengaruhnya untuk menentang pemerintah Kompeni Belanda.

Seketika Pangeran Sarif menyelinap, si tukang perahu buru-buru mengarahkan perahunya untuk mengikuti Pangeran Sarif. Begitu pula ketika Pangeran Sarif berbelok arah dengan memasuki sebuah terowongan, si tukang perahu buru-buru pula mengikutinya. Terowongan itu tembus hingga ke sungai Sunter di dekat Pondok Gede. Hingga ke daerah itu si tukang perahu terus mengikuti.

Si tukang perahu merasakan keanehan. Terowongan yang tadi dilewatinya terlihat sempit dan gelap. Hingga saat itu ia belum pernah melewatinya. Bahkan, ia belum pernah mendengar adanya terowongan itu. Ketika menyadari keanehan itu, ia pun bermaksud untuk kembali ke sungai Ciliwung dengan memasuki terowongan sempit lagi gelap itu. Benar-benar mengherankan, terowongan itu sudah tidak ada lagi!

Si tukang perahu lantas menghampiri Pangeran Sarif. Katanya, “Ampunilah saya wahai Wan Haji. Sungguh, saya tidak bermaksud buruk dengan mengikuti Wan Haji.”

“Jangan meminta ampun kepadaku,” jawab Pangeran Sarif “Mintalah ampun kepada Allah, karena hanya Allah yang pantas engkau mintai ampun.”

Si tukang perahu lantas memohon ampun kepada Allah dengan cara mengikuti ucapan Pangeran Sarif. Katanya kemudian, “Saya ingin menjadi murid Wan Haji. Saya ingin mendapatkan ilmu dan pengetahuan agama Islam yang dapat saya terapkan dalam kehidupan saya:’

Pangeran Sarif bersedia mengajarkan agama Islam kepada si tukang perahu. Sejak saat itu si tukang perahu menjadi murid sekaligus pengikut Pangeran Sarif yang sangat setia. Adapun terowongan gaib yang sempat dilewati si tukang perahu di kemudian hari disebut Lubang Buaya oleh penduduk yang mengetahui ceritanya.

Pesan moral dari kumpulan cerita betawi : kisah rakyat perjuangan pangeran sarif adalah mendekat dan berbaktilah kepada Tuhan, niscaya Tuhan akan memberikan pertolongannya.

Tinggalkan Balasan