Penduduk wilayah Kalimantan Selatan sering menghubungkan Asal Mula Burung Punai dengan dongeng dan cerita anak Datu Pulut. Seperti cerita rakyat nusantara lainnya dongeng dan cerita anak Datu Pulut pun agak mirip dengan cerita rakyat lainya diantanya adalah kisah Jaka Tarub.
Walaupun demikian kisah ini memiliki ciri khas yang membedakan dengan dongeng lain. Mari kita simak bersama kisah lengkap Datu Pulut.
Dongeng Dan Cerita Anak : Legenda Asal Mula Burung Punai
Tersebutlah seorang pemuda bernama Andin. Ia adalah seorang pengembara. Andin seorang diri kerap menjelajahi desa-desa dan juga berbagai negeri.
Pada suatu hari Andin tiba di sebuah desa yang bersungai dan berawa-rawa. Desa Pakan Dalam namanya. Pekerjaan penduduk desa itu kebanyakan menangkap atau menjerat burung dengan getah. Karena Andin juga piawai menangkap burung dengan getah dan burung-burung di desa itu sangat banyak jumlahnya, Andin lantas memutuskan untuk menetap di desa tersebut.
Kedatangan Andin diterima warga Pakan Dalam. Setelah bermukim, setiap hari Andin menjerat burung dengan getah. Pagi-pagi ia telah berangkat dan baru pulang ke rumahnya pada waktu sore. Kadang, hingga senja ia baru pulang. Karena kebiasaannya itu, warga pun akhirnya memanggilnya Andin Pulutan. Kepiawaiannya dalam memulut atau menjerat burung dengan getah serasa tiada tandingannya hingga sebagian besar warga juga menyebutnya Datu Pulut. Orang yang piawai memulut makna namanya.
Pada suatu pagi Datu Pulut berangkat memulut. Ia menaiki jukungnya menuju hilir sungai. Dibawanya keranjang kecilnya. Setelah menemukan tempat yang sesuai baginya untuk memulut, Datu Pulut lantas menghentikan laju jukungnya. la kemudian memasang getah-getah di beberapa tempat. Ia menunggu seraya tiduran di atas jukungnya. Mendadak turun hujan. Datu Pulut lalu berteduh di bawah pohon besar lagi rindang. Tak jauh dari tempatnya berteduh terdapat sebuah telaga yang sangat jernih airnya.
Hujan pun reda, berganti dengan gerimis. Datu Pulut lantas berniat melihat getah-getah yang dipasangnya. Namun, diurungkannya niatnya itu ketika ia mendengar suara-suara yang mencurigakannya. Suara-suara perempuan yang tengah bersenda gurau. Datu Pulut mencari sumber suara itu. Terperanjatlah Datu Pulut ketika melihat tujuh bidadari terbang dari langit menuju telaga. Seketika tujuh bidadari itu tiba di telaga, seketika itu pula di langit terlihat sebuah pelangi yang sangat indah. Datu Pulut segera bersembunyi di balik pohon untuk mengintip apa yang akan dilakukan tujuh bidadari itu.
Tujuh bidadari itu rupanya hendak mandi. Mereka melepaskan selendang yang semula digunakan untuk terbang dan meletakkannya di atas bebatuan. Mereka lantas mandi sambil bercengkerama.
Dari tempat persembunyiannya, Datu Pulut melihat tujuh bidadari yang tengah mandi itu. Ia amat terpesona mendapati kecantikan para bidadari itu. Tergerak hatinya untuk memperistri salah satu bidadari itu. Maka, ia pun segera mengambil salah satu selendang dan menyembunyikannya di dalam keranjang kecil yang dibawanya.
Hari pun beranjak sore. Matahari telah condong di langit barat. Tujuh bidadari itu menghentikan mandi mereka. Salah seorang bidadari tidak dapat menemukan selendangnya. Enam sudaranya telah berusaha turut mencari, selendang itu tidak juga mereka temukan. Tidak ada yang bisa dilakukan enam bidadari itu selain meninggalkan bidadari yang malang itu ketika
hari menjelang senja.
Si bidadari malang menangis sepeninggal enam saudaranya. Ia sangat ketakutan hidup di bumi yang sangat asing baginya. Ia terus menangis dan memanggil ayah dan bundanya agar bersedia menolongnya.
Ketika waktu malam tiba, Datu Pulut mendekati dan menyapa bidadari malang itu. Keduanya lantas berkenalan. Kata Datu Pulut kemudian, “Jika engkau tidak mempunyai sanak saudara atau siapa punjuga di bumi ini, engkau dapat tinggal bersamaku.”
Si bidadari setuju dengan ajakan Datu Pulut. Tidak berapa lama setelah tinggal bersama, Datu Pulut melamar si bidadari. Keduanya lantas menikah dan tetap tinggal di desa Pakan Dalam itu. Setelah menikah, Datu Pulut kian rajin mencari burung. Pagi-pagi sekali ia telah berangkat dan baru pulang ketika waktu malam hampir tiba. Burung-burung yang berhasil dijeratnya dijualnya dan hasil penjualan itu digunakannya untuk mencukupi kebutuhan hidup ia dan istrinya. Kebahagiaan Datu Pulut kian lengkap setelah istrinya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Pada suatu hari si bidadari hendak menanak nasi. Dilihatnya beras di Padaringan (Tempat untuk menyimpan beras) telah habis. Ia pun menuju lumbung padi untuk mengambil padi. Selama ia hidup bersama suaminya, si bidadari belum pernah sekalipun memasuki lumbung padi itu karena suaminya telah melarangnya. Namun, ia terpaksa melanggar larangan suaminya mengingat ia harus menanak nasi.
Ketika berada di dalam lumbung padi, si bidadari menemukan keranjang kecil yang terbuat dari bambu. Terperanjat bukan alang kepalang ia ketika mendapati selendangnya di dalam keranjang kecil itu. Mengertilah ia, suaminya itulah ternyata yang menyembunyikan selendangnya. Ia lantas mengambil selendang itu dan bersiap untuk kembali ke Kahyangan.
Datu Pulut sangat terkejut ketika pulang dari mencari burung. Dilihatnya istrinya telah mengenakan selendangnya dan tengah mendekap anak perempuannya. “Istriku, hendak ke mana engkau?” tanyanya was-was.
“Suamiku, aku hendak kembali ke Kahyangan,” jawab si bidadari.
“Lantas, bagaimana dengan anak perempuan kita? Apakah engkau tega meninggalkannya? Bukankah ia masih menyusu?”
“Hendaknya engkau memelihara anak kita itu baik-baik,” kata si bidadari. “Jika ia menangis karena hendak menyusu, buatkanlah ayunan di pohon berunai. Ketika itu aku dan saudara-saudaraku akan datang dan aku akan menyusui anak kita. Hanya pesanku, janganlah sekali-kali engkau berani mendekati tempatku menyusui itu. Itu pantangan! Camkan baik-baik pesanku ini dan jangan engkau berani melanggar pantanganku itu;’
Setelah memberikan pesannya, si bidadari lantas terbang kembali ke Kahyangan.
Datu Pulut mengingat pesan istrinya. Ketika anak perempuannya menangis karena hendak menyusu, ia segera membuatkan ayunan pada pohon berunai. Ditinggalkannya bayi perempuannya itu di dalam ayunan. Sama sekali ia tidak berani mendekat karena itu pantangan dari istrinya. Datu Pulut hanya bisa menyaksikannya dari kejauhan.
Waktu terus berlalu. Datu Pulut sangat rindu untuk bertemu dengan istrinya. Berulang-ulang ditahannya rasa rindunya itu, namun serasa kian membesar saja kerinduannya untuk bertemu. Datu Pulut tidak lagi bisa memendam rasa rindunya. Maka, ketika istrinya dengan kawalan enam saudaranya tengah menyusui anak perempuannya, Datu Pulut melanggar pantangan istrinya. Ia mendekati ayunan di pohon berunai. Dengan hati tak sabar karena diamuk perasaan rindu, hendak dipegangnya istri tercintanya yang tengah menyusui anaknya itu.
Keanehan pun terjadi. Seketika tangan Datu Pulut hendak menyentuh tubuh istrinya, istrinya dan enam saudaranya seketika itu berubah wujud menjadi tujuh ekor burung punai!
Tujuh ekor burung punai itu langsung terbang ke alam bebas.
Datu Pulut sangat menyesali perbuatannya. Ia hanya bisa memandangi tujuh ekor burung punai yang terbang itu dengan perasaan menyesal. Ketika anaknya menangis, ia meletakkannya di dalam ayunan di pohon berunai. Namun, istrinya yang telah berubah wujud menjadi burung punai itu tidak juga datang. Istrinya tidak pernah lagi datang.
Pesan moral dari dongeng dan cerita anak : asal mula burung punai adalah hendaklah kita tidak berani melanggar pantangan yang diberikan orang lain. Jika kita melanggarnya, kita bisa jadi akan mendapatkan kerugian dan merasa menyesal di kemudian hari.