Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi

Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi (DKI Jakarta) adalah cerita rakyat yang paling banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Bahkan rumah si Pitung hingga saat ini terus dirawat dan dijaga kelestariannya. Pada beberapa waktu lalu kami pernah memposting versi yang lain dari cerita si pitung yaitu dalam artikel Kisah Rakyat Nusantara : Si Pitung dari Betawi.

Cerita Rakyat Si Pitung : Jagoan Dari Betawi

Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi
Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi

Hati si Pitung geram sekali. Sore ini ia kembali melihat kesewenang-wenangan para centeng Babah Liem. Babah Liem atau Liem Tjeng adalah tuan tanah di daerah tempat tinggal si Pitung. Babah Liem menjadi tuan tanah dengan memberikan sejumlah uang pada pemerintah Belanda, Selain itu, ia juga bersedia membayar pajak yang tinggi pada pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Babah Liem mempekerjakan centeng-centengnya untuk merampas harta rakyat dan menarik pajak yang jumlahnya mencekik Ieher.

Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia berguru pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu tinggi. Haji Naipin berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu wataknya. Ya, si Pitung memang terkenal rajin dan taat beragama. Tutur katanya sopan dan ia selalu patuh pada kedua orangtuanya, Pak Piun dan Bu Pinah.

Beberapa bulan kemudian, si Pitung telah menguasai segala ilmu yang diajarkan oleh Haji Naipin. Haji Naipin berpesan, “Pitung, aku yakin kau bukan orang yang sombong. Gunakan ilmumu untuk membela orang-orang yang tertindas. Jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk menindas orang lain.” Si Pitung mencium tangan Haji Naipin lalu pamit. Ia akan berjuang melawan Babah Liem dan centeng-centengnya.

“Lepaskan mereka!” teriak si Pitung ketika melihat centeng Babah Liem sedang memukuli seorang pria yang melawan mereka.

Cerita Rakyat Si Pitung
Cerita Rakyat Si Pitung

“Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?” tanya salah satu centeng itu.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah para pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!” jawab si Pitung.

Pemimpin centeng itu tersinggung mendengar perkataan si Pitung. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Pitung. Namun semua centeng itu roboh terkena jurus-jurus si Pitung. Mereka bukanlah lawan yang seimbang baginya. Mereka Ian terbirit-birit, termasuk pemimpinnya.

Sejak saat itu, si Pitung menjadi terkenal. Meskipun demikian ia tetaplah si Pitung yang rendah hati dan tidak sombong.

Sejak kejadian dengan para centeng Babah Liem, si Pitung memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi rakyat jelata. Ia tak tahan menyaksikan kemiskinan mereka, dan ia muak melihat kekayaan para tuan tanah yang berpihak pada Belanda.

Suatu saat ia mengajak beberapa orang untuk bergabung dengannya. Mereka merampok rumah orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokan tersebut pada rakyat jelata. Sedikit pun ia tak pernah menikmati hasil rampokan itu secara pribadi.

Rakyat jelata memuji-muji kebaikan hati si Pitung. Sebaliknya, pemerintah Belanda dan para tuan tanah mulai geram.

Legenda Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi
Legenda Cerita Rakyat Si Pitung dari Betawi

Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal mereka bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan perintah untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi buronan, si Pitung tak gentar. Ia tetap merampok orang-orang kaya, dengan cara berpindah tempat agar tak mudah tertangkap.

Kesal karena tak bisa menangkap si Pitung, pemerintah Belanda menggunakan cara yang licik. Mereka menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Salah satu pejabat pemerintah Belanda yang bernama Schout Heyne mengumumkan bahwa kedua orang tersebut akan dihukum mati jika si Pitung tak menyerah. Berita itu sampai juga ke telinga si Pitung. Ia tak ingin ayah dan gurunya mati sia-sia. Ia lalu mengirim pesan pada Schout Heyne. Si Pitung bersedia menyerahkan diri jika ayah dan gurunya dibebaskan. Schout Heyne menyetujui permintaan si Pitung. Pak Piun dibebaskan, tapi Haji Naipin tetap disandera sampai si Pitung menyerahkan diri. Akhirnya si Pitung muncul. “Lepaskan Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku,” kata si Pitung. Schout Heyne menuruti permintaan tersebut. Haji Naipin pun dilepaskan.

“Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk itu, kau harus dihukum mati,” kata Schout Heyne.

“Kau tidak keliru? Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan orang banyak? Aku tidak takut dengan ancamanmu,” jawab si Pitung.

“Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!” perintah Schout Heyne pada pasukannya.

Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne. “Bukankah anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?” ratap Pak Piun. Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah mengancam jabatannya.

Suara rentetan peluru pun memecahkan kesunyian, tubuh si Pitung roboh bersimbah darah terkena peluru para prajurit Belanda. Pak Piun dan Haji Naipin sangat berduka. Mereka membawa pulang jenazah si Pitung kemudian menguburkannya. Berkat jasa-jasanga, bangak sekali orang yang mengiringi pemakamannga dan mendoakannga. Meskipun ia telah tiada, si Pitung tetap dikenang sebagai pahlawan bagi rakyat jelata.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Si Pitung Dari Betawi untukmu adalah Jadilah orang yang rendah hati dan berani membela kebenaran

Cerita Rakyat Banten : Mushola Penunjuk Kebenaran

Kisah tentang Masjid Terate Udik : Cerita Rakyat Banten

Ustadz Wahid baru saja menyelesaikan sholat lohor ketika warga berbondong-bondong datang ke mushola.

Cerita Rakyat Banten Mushola Penunjuk Kebenaran
Cerita Rakyat Banten Mushola Penunjuk Kebenaran

“Ustadz, Pak Sidik dan Pak Tio sedang bertengkar di balai desa. Mereka memperebutkan tanah warisan Ki Ahmad,” kata salah seorang warga. “Mohon bantuan Pak Ustadz untuk mengelesaikan masalah ini,” kata warga yang lain. Ustadz Wahid segera menuju balai desa. Baik Pak Sidik maupun Pak Tio tak mau mengalah. Masing-masing bersikeras bahwa merekalah yang berhak atas tanah warisan Ki Ahmad. Akhirnya Ustadz Wahid berkata, “Siapkan bukti atau saksi kalian masing-masing. Besok kita selesaikan masalah ini di mushola. Saksi-saksi kalian akan disumpah untuk mengatakan kebenaran.”

Saksi dari pihak Pak Sidik bernama Rahmad, dan saksi dari pihak Pak Tio bernama Randik. Keduanya disumpah demi Allah di hadapan Alquran sebelum bersaksi. “Tanah ini benar-benar milik Pak Sidik, saya mendengar sendiri ketika Ki Ahmad berkata pada Pak Sidik sebelum beliau meninggal,” kata Rahmad.

“Omong kosong, saya juga mengaksikan Ki Ahmad mewariskannya pada Pak Tio. Bahkan beliau menuliskannya di surat wasiatnya, ini buktinya,” sanggah Randik sambil mengerahkan selembar surat. Ustadz Wahid mempelajari surat wasiat itu, lalu memutuskan bahwa Pak Tio yang berhak atas tanah itu.

Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Randik sakit keras lalu meninggal. Pak Tio ketakutan, ia merasa bersalah. Sebenarnya ia telah berbohong pada semua orang dan menyuruh Randik untuk bersumpah palsu. Tanah warisan Ki Ahmad sebenarnya adalah hak Pak Sidik. Meski ketakutan, Pak Tio tidak mau mengaku dan tetap menguasai tanah itu.

Suatu malam, rumah Pak Tio kebakaran. Apinya besar sekali sehingga seluruh harta bendanya ludes. Pak Tio sendiri tewas dalam musibah kebakaran itu. Dengan kematian Randik dan Pak Tio, warga mulai menyadari bahwa kedua orang itu telah termakan sumpah yang mereka ucapkan di mushola. Sejak saat itu, tak ada lagi warga yang berselisih soal tanah. Mereka hidup tenteram.

Kisah tentang Masjid Terate Udik Cerita Rakyat Banten
Kisah tentang Masjid Terate Udik Cerita Rakyat Banten

Berbulan-bulan kemudian, ketenteraman warga terganggu. Tiba-tiba, kegaduhan terjadi di rumah Fatimah.

“Maling… maling…” teriak Fatimah. Kejadian itu terjadi pada malam hari, suasana gelap sehingga Fatimah tak bisa melihat siapa maling itu. Warga yang mendengar teriakan Fatimah berusaha membantu, namun terlambat. Maling itu telah melarikan diri. Fatimah menangis. Ustadz Wahid yang datang ke rumahnya hanya bisa menghibur, “Sudahlah Fatimah, harta bisa dicari, yang penting kau selamat.”

Peristiwa kemalingan itu nyaris dilupakan warga, hingga suatu saat, seorang warga baru, Fikar, mengadakan acara syukuran atas kepindahannya. Ia mengundang seluruh warga desa.

Semua warga bersenang-senang dalam acara itu. Hanya satu warga yang tak bisa tenang, ia adalah Pak Umar suami Fatimah. Seusai acara, Ustadz Wahid menangainya, “Ada apa Umar? Dari tadi kulihat kau gelisah.”

“Bukannya saya mau menuduh, tapi cincin batu yang dikenakan Fikar tadi adalah milik saya. Saya tahu pasti karena cincin itu warisan kakek saya. Beliau membuatnya sendiri, jadi tak mungkin Fikar bisa memiliki cincin yang sama. Pasti Fikar mencurinya dari rumah saya,” jelas Pak Umar.

“Jangan berburuk sangka dulu, sebaiknya kita cari tahu kebenarannya,” kata Ustadz Wahid. Beliau lalu mengajak Pak Umar kembali ke rumah Fikar untuk menanyakan cincin tersebut.

“Cincin ini adalah warisan dari kakakku. Ia meninggal bulan lalu,” jawab Fikar. Tiba-tiba mata Pak Umar terpaku pada kalung yang dikenakan istri Fikar. “Bagaimana dengan kalung itu?” tanyanya.

“Kalung itu juga warisan dari kakakku,” jawab Fikar lagi.

Ustadz Wahid kemudian menjelaskan semuanya kepada Fikar, tentang pencurian di rumah Fatimah dan tentang kecurigaan Pak Umar.

“Maaf, kami bukan menuduh, tapi untuk mencaritahu kebenarannya, maukah kau bersumpah di mushola atas nama Allah?” tanya Ustadz Wahid. Dengan sombong, Fikar menjawab “Tentu saja, aku tak takut bersumpah karena perhiasan ini memang milikku.”

“Jika begitu, kami tunggu kau besok di mushola,” jawab Ustadz Wahid.

Keesokan paginya, setelah disumpah di bawah kitab suci Alquran, Fikar berkata “Demi Allah, cincin dan kalung ini adalah warisan dari kakakku. Aku tak pernah mencurinya dari rumah Umar.”

Semua yang mendengar sumpah Fikar berharap, semoga apa yang diucapkan Fikar benar adanya. Namun harapan warga tidak terkabul. Seminggu kemudian Fikar terserang penyakit aneh. Tubuhnya mengeluarkan bau anyir dan bisul-bisul yang akan meletus. Karena tak tahan merawatnya, istrinya kabur dad rumah. Karena tidak terurus, Fikar pun meninggal dengan mengenaskan.

Dari kejadian yang menimpa Randik, Pak Tio, dan Fikar, warga berkesimpulan bahwa mushola di desa mereka itu adalah mushola keramat. Karena itu mereka memutuskan untuk memperbesar mushola itu dan menjadikannya masjid. Masjid itu diberi nama Masjid Terate Udik. Warga menyelesaikan perselisihan mereka di masjid itu. Tapi sejak itu, tak ada lagi percekcokan yang berarti karena warga sadar untuk menjaga ucapan dan tidak mudah mengucapkan sumpah. Masjid Terate Udik ini terletak di kampung Terate Udik, Desa Masigit di Kecamatan Cilegon.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Banten : Mushola Penunjuk Kebenaran untukmu adalah Jagalah ucapanmu dan jangan memelihara kebiasaan untuk berdusta. Kebenaran akan selalu terungkap dengan cara yang berbeda-beda.

 

Tinggalkan Balasan