Tujuh gadis yang dibuang merupakan cerita rakyat Lampung yang sangat disukai oleh anak-anak. Cerita rakyat dari Lampung ini menceritakan tujuh orang gadis yang dibuang oleh keluarganya karena hidup dalam kemiskinan. Pertanyaanya adalah apakah persaudaraan mereka akan terjalin erat saat mereka hidup dalam pengembaraan? Jika ingin mengetahui kisah rakyat Lampung ini, kalian harus membaca Legenda Tujuh Gadis yang dibuang sampai selesai. Yuk kita sama-sama ikuti kisah menarik ini sampai tuntas.
Cerita Rakyat Lampung : Legenda Tujuh Gadis yang Dibuang
Dari dalam hutan, terdengar suara tangis tujuh gadis. Rupanya mereka tersesat. Mereka dibuang ke hutan oleh orangtua mereka karena sudah tak sanggup lagi merawat dan memberi makan. Sebenarnya, si Bungsu sudah tahu rencana itu ketika mereka diajak mencari kayu ke hutan. Itulah sebabnya ia mengebarkan biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Namun malang, biji-biji jagung itu habis dimakan burung. Si bungsu dan kakak-kakaknya kehilangan arah dan tersesat semakin jauh.
“Aduh, bagimana ini?” seru si Sulung panik.
“Sebaiknya kita terus berjalan saja, Kak. Siapa tahu di depan ada jalan keluar,” jawab si Bungsu.
Ketujuh gadis itu melangkah tanpa tujuan. Berhari-hari mereka berjalan, akhirnya keluar juga dari hutan dan tiba di sebuah desa.
“Desa ini aneh sekali, suasananya sunyi,” kata salah seorang dari mereka
“Hei, lihat! Itu ladang jagung yang sangat luas. Dan oh, ada sungai juga!” pekik saudaranya yang lain. Ketujuh gadis itu bergegas melangkah ke sungai. Mereka ingin mandi untuk membersihkan tubuh mereka yang lengket dan kotor.
Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Di pinggir sungai, sepasang raksasa sedang mandi. Wajah keduanya mengerikan.
“Jika melihat kita, mereka pasti akan memakan kita,” bisik si Sulung.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” balas gadis yang lain.
“Ssstt… aku punya akal, Kak. Bagaimana kalau kita mencampur air sungai itu dengan kolang kaling? Mereka pasti akan merasa gatal-gatal. Nah, begitu mereka keluar dari sungai, kita jebak mereka,” usul si Bungsu.
“Jebak? Bagaimana caranya?” tangoaknya tak mengerti.
“Mereka pasti akan lari ke gubuk mereka. Nah, ikatan-ikatan di tiang gubuk itu kita kendurkan. Lalu kita buat perapian di bawah gubuk. Kalau mereka masuk, gubuk itu akan ambruk dan mereka akan mati terbakar,” si Bungsu menjelaskan.
Keenam kakaknya mengangguk tanda mengerti. Tanpa membuang waktu, mereka menjalankan usul si Bungsu. Semuanya berjalan dengan sempurna, kedua raksasa itu mati terpanggang.
Gadis-gadis itu akhirnya tinggal di desa tersebut. Mereka mendirikan tujuh gubuk dan membagi ladang peninggalan raksasa menjadi tujuh bagian. Setiap ladang ditanami jagung dan berbagai jenis bunga.
Ketujuh ladang itu sangat subur. Hasil panennya melimpah. Kebun bunganya juga menyebarkan bau yang harum. Bau semerbak itu mengundang seekor burung kenui untuk membuat sarang disana. Dari ketujuh gadis itu, hanya si Bungsu yang mengizinkan burung kenui itu membuat sarang dan bertelur di sana. Aneh, setelah beberapa hari tinggal di ladang si Bungsu, burung kenui itu terbang entah ke mana. Burung itu pergi meninggalkan telurnya.
Suatu hari, saat si Bungsu pulang dari ladang, ia mencium bau harum masakan di gubuknya. “Siapa yang memasak, ya?” bisiknya heran. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang pemuda tampan di dapurnya. Rupanya pemuda itulah yang sedang memasak. “Siapa kau? Sedang apa kau di sini?” tanya si Bungsu dengan sedikit ketakutan.
Pemuda itu menceritakan asal-usulnya. Ternyata, ia keluar dari telur burung kenui yang ditinggalkan induknya. Mendengar cerita pemuda itu dan melihat parasnya yang rupawan, si Bungsu jadi tidak takut lagi.
Mereka lalu menjadi akrab dan saling jatuh cinta, sehingga akhirnya menikah. Si Bungsu dan suaminya hidup bahagia. Setiap hari suaminya ikut bekerja di ladang. Rupanya kebahagiaan si bungsu menimbulkan kecemburuan pada keenam kakaknya.
“Enak sekali dia, tahu-tahu ada pemuda tampan yang menikahinya,” kata si Sulung. “Bagaimana kalau kita menyingkirkannya? Pasti nanti suaminya akan menikahi salah satu dari kita,” usul salah seorang dari mereka.
Esok paginya, si Bungsu pergi mencuci ke sungai. Tanpa sepengetahuannya, keenam kakaknga mengendap-endap di belakang. Tiba-tiba mereka mendorong si Bungsu ke sungai. Arus sungai pagi itu sangat deras. Si Bungsu tak bisa melawan, tubuhnya pun terbawa arus dan hilang dari pandangan. Keenam kakaknya tersenyum puas, mereka yakin si Bungsu pasti mati tenggelam.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Si Bungsu ditelan oleh seekor ikan raksasa. Karena kekenyangan, ikan itu tidur di permukaan air. Malang bagi ikan itu, seorang nenek tua menemukannya.
Dengan goloknya, nenek itu berusaha memotong-motong tubuh ikan itu. Aneh, meski sudah berusaha sekuat tenaga, golok itu tak mampu melukai tubuh ikan itu. Akhirnya si Nenek kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tiba-tiba, ia mendengar burung bernyanyi, “Bolidang bolidangi pabeli iwa balak”. Mengertilah ia, untuk memotong tubuh ikan itu ia harus menggunakan daun belidang.
Betapa terkejutnya nenek itu ketika melihat si Bungsu keluar dari perut ikan. “Gadis cantik, siapa kau? Mengapa kau ada di perut ikan?” tanya nenek itu beruntun. Si Bungsu menceritakan apa yang terjadi. “Bolehkah aku tinggal di sini, Nek?” tanyanya. Karena terharu mendengar kisah gadis itu, ia pun setuju, “Tentu saja, kau boleh tinggal selama yang kau mau.”
Sementara itu, di tempat lain, suami si Bungsu bingung mencari istrinya. Berulang kali ia bertanya pada keenam kakak iparnya, tapi tak seorang pun yang tahu keberadaannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari istrinya seorang diri. Ia mulai dengan menyusuri sungai karena menurutnya mungkin saja si Bungsu terseret arus saat mencuci.
Perjalanan pria itu berhenti di sebuah desa di ujung sungai. Ia sangat kelelahan dan mencari tempat untuk beristirahat. Ia mengetuk pintu sebuah gubuk yang ternyata adalah gubuk si Nenek.
“Permisi, bolehkah saya beristirahat di sini?” teriak pria tersebut.
Si Bungsu yang saat itu sedang menjahit, terkejut mendengar suara suaminya. Ia segera berlari menuju pintu diikuti si Nenek. “Suamiku!” teriaknya begitu melihat suaminya di depan pintu. Mereka Iangsung berpelukan.
“Terima kasih ya, Nek, atas pertolongan ini,” ucap pria itu.
Orang tua itu mengangguk. Ia mengusap air matanya ketika mereka berpamitan. Si Bungsu dan suaminya pulang dan bertemu kembali dengan keenam kakaknya.
Mereka menyambut si Bungsu dengan perasaan malu sekaligus lega. Mereka diliputi perasaan malu karena telah mencelakai adik kesayangan mereka. Mereka meminta maaf pada si Bungsu. Setelah peristiwa itu, ketujuh kakak-beradik tersebut hidup rukun dan damai.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Lampung : Kisah Si Bungsu untukmu adalah Jadilah manusia yang pemurah dan penyayang. Buang jauh-jauh rasa iri atas keberhasilan orang lain.