Legenda batu menangis adalah Cerita Rakyat Kalimantan Barat yang sangat terkenal di Nusantara. Cerita ini biasanya masuk dalam buku Kumpulan Kumpulan Cerita Rakyat dari Kalimantan terbaik. Kisah Rakyat Batu Menangis menceritakan seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Pesan dari cerita ini amat jelas, siapapun yang durhaka terhadap orang tua terutama Ibunya, maka dia akan mengalami malapetaka dimasa yang akan datang. Yuk sama-sama kita ikuti cerita yang diambil dari Kumpulan Cerita Cerita Rakyat Nusantara Terbaik ini.
Cerita Rakyat Kalimantan Barat : Legenda Batu Menangis
“Tralala… trilili…” senandung Darmi pelan sambil menyisir rambutnya.
Selesai menyisir, ia memoleskan bedak ke wajahnya. “Hmm… tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kecantikanku,” katanya sambil mematut diri di depan cermin. “Darmi… bantu Ibu, Nak,” kata ibunya tiba- tiba.
“Aku sedang sibuk, Bu!” jawab Darmi ketus.
“Nak, Ibu harus berangkat ke ladang. Tolong gorenglah ikan ini,” jawab Ibu.
“Hah… bagaimana jika nanti minyaknya kena tanganku? KuIitku yang mulus bisa terluka,” Darmi menolak.
“Kau tak akan terpercik minyak jika berhati-hati,” jawab Ibu sabar.
“Tidak! Pokoknya Ibu tak boleh berangkat sebelum menggoreng ikan ini!” teriak Darmi. Akhirnya ibunya terpaksa menuruti keinginan Darmi. Selalu begitu, Darmi tak pernah mau membantu ibunya.
Darmi adalah seorang anak yatim. Sejak ayahnya meninggal, ibunya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua pekerjaan dilakukannya tanpa malu. Tak heran, Ibu tampak lebih tua dari usianya. Kulitnya hitam dan keriput, rambutnya merah terbakar Matahari.
Berbeda dengan Darmi. Darmi memiliki rambut hitam yang lebat dan panjang. Jika ditimpa sinar Matahari, rambutnya berkilauan. Kulitnya putih mulus, dan pipinya bersemu merah. Namun Darmi adalah anak pemalas. Baginya yang paling penting adalah kecantikannya. Ia berharap, suatu saat akan ada pemuda kaya yang meminangnya Ia bosan hidup miskin.
“Ibuuu… bedakku habis!” teriak Darmi di suatu pagi. Ibu yang sedang menimba air di sumur segera menghampirinya. “Kenapa pagi-pagi sudah berteriak-teriak, Nak?”
“Bedakku habis. Sana Ibu belikan di pasar!” perintah Darmi.
“Bedak apa dan di mana membelinya.” tanya Ibu. “Aduh… begitu saja tidak tahu? Di toko yang bersebelahan dengan penjual buah Bu,” jawab Darmi.
“Penjual buah di pasar, kan banyak? Penjual buah yang mana?” tanya Ibu tak mengerti. “Aduuhhh!! Ya sudah, ayo aku tunjukkan. Diingat-ingat ya Bu letak tokonya, jadi jika aku suruh lain kali, Ibu sudah tahu.”
Hari itu pasar ramai sekali. “Awas… Bu… minggir sedikit,” bisik Darmi tiba-tiba.
“Apa? Ibu tak dengar Nak,” jawab Ibu.”Minggir! Jangan dekat- dekat aku. Ibu jalan di belakangku saja. Aku tak mau orang-orang melihatku berjalan bersama Ibu,” ketus Darmi.
Ibu terkejut. Hatinya sakit mendengar perkataan Darmi. Namun ia kemudian melihat dirinya sendiri. “Astaga, memang bajuku jelek dan kusam. Aku juga belum mandi, pantas saja Darmi tak mau dekat denganku,” batin Ibu. Akhirnya Ibu pun mengalah. Ia berjalan di belakang Darmi.
Tiba-tiba terdengar teriakan, “Hei Darmi… kau mau ke mana? Wah, lama sekali tak berjumpa denganmu.” Darmi menoleh. Ternyata itu suara penjual kain langganannya. “Aku hendak membeli bedak. Sekalian mau membeli sabun.” jawab Darmi riang. “Oh, tumben kau diantar oleh ibumu?” tanya si penjual kain lagi.
“Siapa yang kau maksud?’ tanya Darmi pura-pura tak mengerti.”Oh, wanita tua ini? Ia bukan ibuku, masa Ibuku seperti itu? Ia hanya pembantuku,” jawab Darmi.
Ibu sungguh terkejut. “Rupanya ia malu kepadaku,” kata Ibu dalam hati. Meskipun hatinya sakit, Ibu berusaha tersenyum dan berkata pada si penjual kain
“Iya, saya memang pembantunya.” Darmi lalu melambaikan tangan pada penjual kain. Ia berbisik pada ibunya
“Bagus Bu, tetaplah mengaku sebagai pembantuku.” Ibu hanya diam dan tak menjawab.
Ketika sedang memilih-milih bedak, tiba-tiba pemilik toko berkata. “Wah Bu, senang ya punya anak secantik Darmi,”
“Heh, sembarangan saja kau bicara. Ia itu pembantuku, bukan ibuku. Masa kau tak lihat perbedaan warna kulit kami?” tanya Darmi.
Sekali lagi, hati Ibu sakit mendengar jawaban Darmi itu. Tapi Ibu tetap tersengum dan berkata pada pemilik toko “Ya, saya memang pembantunya.”
Selesai membeli bedak, Darmi dan ibunya pulang ke rumah. Di perjalanan, mereka merasa haus. Mereka lalu mampir ke warung untuk minum. “Wah Bu… putri ibu ini benar-benar cantik jelita. Andai saja aku punya anak laki-laki, pasti akan kunikahkan dengan anak ibu,”
Ibu hampir saja menjawab ketika Darmi mendahuluinya “Pak, aku bukan anak Ibu ini. Ibuku cantik dan putih sepertiku, tidak seperti dia. Dia itu hanya pembantuku,”
Dengan wajah kesal, Darmi lalu menarik tangan ibunya dan keluar dari warung itu. Pemilik warung hanya bisa melongo. Menurutnya, wajah Darmi dan ibunya sungguh mirip. Hanya saja kulit Darmi Iebih bersih.
“Bu, aku malu berjalan bersama Ibu. Aku tak mau lagi pergi bersama Ibu,” kata Darmi kesal. Ibu mulai menangis. Ia sungguh tak menyangka Darmi bersikap seperti itu. “Ya Tuhan, ampuni anakku. Ia lupa bahwa aku adalah ibu yang mengandung dan membesarkannya. Sadarkan ia dari kesalahannya ini,” doa Ibu dalam hati. “Darmi, sejelek apa pun, aku ini tetap ibumu yang mengandung dan membersarkanmu.”
“Aku tak pernah minta untuk dilahirkan Ibu. Aku ingin Ibu yang cantik, putih, dan juga kaya. Aku juga tak pernah minta Ibu untuk membesarkan aku!” teriak Darmi. “Astaga Nak… jaga ucapanmu. Jangan sampai Tuhan marah mendengarmu,” kata Ibu. “Biar saja Dia marah. Aku juga marah padaNga karena memberiku Ibu sejelek ini,” ketus Darmi.
Duerrrrr… tiba-tiba petir menyambar tepat setelah Darmi mengelesaikan ucapannya. Darmi dan ibunya terkejut. Ketakutan, Darmi merapat ke ibunya “Apa itu tadi, Bu?” tanyanya. Ibu tak menjawab. Dalam hati ia bertanya “Apakah Tuhan marah mendengar perkataan Darmi tadi?” Tiba-tiba langit berubah menjadi hitam.
Petir terus menyambar-nyambar. Ibu menggandeng Darmi dan berkata, “Ayo Darmi, cepatlah. Kita harus segera sampai ke rumah. Sepertinya akan ada badai,” kata Ibu.
Ibu merasa heran, mengapa Darmi tak juga berjalan cepat?
Ia pun menoleh ke belakang.
“Darmi! Apa yang terjadi pada dirimu?” teriak Ibu. Tampak olehnya Darmi sedang berdiri ketakutan sambil memandangi kedua kakinya. “Kakiku Bu… kakiku… kenapa tak bisa digerakkan? Rasanya seperti batu Bu… tolong aku…” kata Darmi sambil menangis.
Ibu bergegas menghampiri Darmi dan memeriksa kakinya. Ternyata benar, kaki Darmi telah berubah menjadi batu. Ibu pun menangis sejadi-jadinya “Darmi, rupanya Tuhan marah padamu. Kau telah menghina ibumu dan juga menyalahkan Tuhan. Minta ampun Nak… mintalah ampun…” ratap Ibu.
Namun semuanya sudah terlambat. Tak hanya kaki, perlahan-lahan, semua bagian tubuh Darmi pun menjadi batu.
Darmi menangis dan berkata “Maafkan aku Bu… aku menyesal telah menghina Ibu.” Itu adalah kata-kata terakhir yang terucap dari mulut Darmi. Sekarang seluruh tubuhnya telah menjadi batu. Ibu hanya bisa menangis dan memeluk batu itu. Tampak olehnya, batu itu mengeluarkan air mata. Ya, itu adalah air mata penyesalan dari Darmi. Sekarang, batu itu dikenal dengan sebutan “Batu Menangis”.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Kalimantan Barat : Batu Menangis untukmu adalah hormatilah kedua orangtuamu, terutama ibumu. Beliau telah mengandung dan membesarkanmu dengan penuh kasih sayang. Ingat, sejelek apa pun ayah dan ibumu, mereka tetaplah orangtuamu.
Baca artikel terbaik kami yang lain yaitu Kumpulan Cerita Anak Kalimantan : Kisah Pangeran Biawak dan Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Dari Kalimantan Selatan