Kisah rakyat Skolong dan Cue mengingatkan kita bahwa jangan menilai seseorang dari fisik luarnya saja. Cerita Rakyat dari Nusantara ini mengajarkan kita bahwa menilai seseorang dari fisik saja bukan merupakan hal yang baik, karena nilai seseorang yang sesungguhnya adalah dari perbuatannya. Banyak Cerita Rakyat Dari Nusantara yang ada di blog ini berisi amanat moral yang baik untuk disampaikan pada si Kecil, kisah Skolong dan Cue salah satunya.
Cerita Rakyat Dari Nusantara : Kisah Skolong dan Cue
Tersebutlah seorang pemuda bernama Skolong Rebo Todo yang hidup di Kampung Manggarai pada masa lampau. Skolong dikenal sebagai pemuda yang rajin. Wajahnya juga tampan. Orangtua Skolong telah saling berjanji dengan keluarga adiknya untuk menjodohkan anak mereka. Oleh karena ketika bibi Skolong tengah hamil tua, Skolong diperintahkan ayahnya untuk tinggal di rumah bibinya. Ayah Skolong berpesan, “Jika anak bibimu itu nanti lahir perempuan, maka anak itulah yang akan menjadi istrimu.”
Skolong lantas tinggal di rumah bibinya. Skolong tidak tinggal diam di rumah bibinya itu. Ia rajin membantu pekerjaan rumah. Selain itu, Skolong juga rajin bekerja di ladang milik bibinya dan sesekali mencari kayu bakar di hutan. Bibi Skolong sangat senang pada Skolong karena sikap dan perangainya itu. Ia sangat berharap anak yang akan dilahirkannya nanti perempuan hingga dapat dijodohkannya dengan keponakannya yang rajin itu.
Namun, bibi Skolong ternyata tidak melahirkan bayi perempuan, melainkan sesosok bayi yang menyerupai sebuah cue! Layaknya sebuah cue (Ubi hutan yang berbulu), tubuhnya hanya terdiri dari bulatan yang ditumbuhi bulu tanpa terdapat tangan dan kaki. Bayi aneh itu pun diberi nama Cue. Bibi Skolong tetap berharap agar Skolong menikahi Cue.
Cue tumbuh membesar dalam asuhan dan perawatan kedua orangtuanya. Selama itu Skolong tetap juga tinggal bersama keluarga bibinya meski serasa telah musnah harapannya untuk menjadi anak menantu bibinya. Skolong enggan menikahi Cue.
Pada suatu hari Skolong berniat kembali ke rumah orangtuanya. Mengetahui Skolong hendak pergi, Cue ingin mengikuti. “Janganlah engkau mengikutiku, Cue,” kata Skolong. “Sebaiknya engkau tinggal bersama ayah dan ibumu.”
Cue tetap bersikeras untuk mengikuti Skolong. Katanya, “Aku mencintai kakak. Maka, izinkan aku pergi bersamamu.”
Skolong tetap membujuk dan menyarankan agar Cue tidak mengikutinya. Namun, Cue tetap juga bersikeras untuk mengikuti. Skolong pun mengancam dan menakut-nakuti, “Mungkin aku akan habis kesabaranku jika engkau tetap bersamaku. Jangan salahkan aku jika aku akan membunuhmu jika kesabaranku telah habis!”
Namun Cue tetap bersikeras untuk ikut. Sama sekali ia tidak takut dengan ancaman Skolong.
Skolong berangkat menuju rumah orangtuanya. Sama sekali tidak diduganya jika Cue tetap mengikutinya dengan cara berguling-guling. Gerakan berguling Cue bahkan lebih cepat dibandingkan Skolong yang berlari. Skolong menyangka Cue telah tertinggal jauh di belakangnya.
Jika Cue berada di depan perjalanan Skolong, Skolong akan bertemu dengan rombongan manusia yang berjalan berlawanan arah dengan Skolong. Di dalam rombongan itu terdapat seorang perempuan yang sangat cantik wajahnya. Kepada rombongan itu Skolong berpesan agar menunjukan arah yang salah kepada cue yang berada di belakang karena mengikutinya.
Sama sekali Skolong tidak menyadari jika si perempuan yang sangat cantik wajahnya itu menebarkan senyum manisnya ke arahnya. Matanya yang indah juga mengerling ke arah Skolong, meski Skolong juga tidak menyadarinya. Kejadian yang dialami Skolong tersebut berulang beberapa kali. Berulang-ulang Skolon berpapasan dengan rombongan di mana di dalamnya terdapat seorang perempuan yang sangat cantik wajahnya. Skolong tetap juga tidak menyadari jika si perempuan cantik itu melirik dan tersenyum manis kepadanya. Hingga beberapa saat kemudian Skolong mendengar suara seorang gadis yang berujar kepadanya, “Wahai Skolong! Dalam perjalanan jauhmu, telah engkau lewati beberapa kampung, telah engkau lihat seorang gadis. Sungguh, betapa besarnya cintaku kepadamu! Betapa rindunya aku akan kasih sayangmu!”
Skolong sangat terperanjat mendengar suara itu. Ia lalu berusaha mencari sumber suara tersebut, namun tidak ditemukannya. Dipikirnya suara itu berasal dari Cue, namun Cue juga tidak dilihatnya di belakangnya. Dengan pikiran yang dipenuhi berbagai pertanyaan, Skolong terus melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya tibalah ia di kampung halamannya. Beriringan dengan kedatangan Skolong, Cue juga tiba di kampung halaman Skolong tersebut. Cue langsung masuk ke dalam rumah orangtua Skolong. Ia lalu membantu berbagai pekerjaan yang dilakukan ibu Skolong.
Ibu Skolong sangat keheranan mendapati sosok yang menyerupai ubi hutan yang berbulu lebat itu membantunya. Ketika Skolong mengetahuinya, Skolong pun menjelaskan bahwa Cue itu sesungguhnya anak paman dan bibinya.
Kedua orangtua Skolong merasa sedih mendengar cerita Skolong perihal Cue. Bagaimanapun juga halnya, Cue itu adalah keponakan mereka sendiri. Mereka pun menerima kehadiran Cue dan Cue pun lantas tinggal di rumah orangtua Skolong.
Pada suatu hari di kampung Skolong diadakan pesta wagal (pesta adat dalam tata cara perkawinan orang-orang manggarai) yang akan dilangsungkan selama dua hari. Diadakan pula perlombaan caci (Salah satu permainan tradisional rakyat Manggarai di mana pesertanya terdiri dari kaum lelaki dan diiringi dengan pukulan gendang yang dilakukan para ibu serta tarian khas yang dilakukan para gadis) dalam pesta itu. Mendengar akan adanya pesta wagal dan juga caci, Cue lantas menuju pancuran air yang terdapat di kampung Skolong tersebut. Ia berpura-pura hendak mandi. Ketika tidak ada orang yang melihatnya, Cue mendadak melepaskan kulit cuenya dan menyimpannya di bawah sebuah batu lempeng. Cue berubah menjadi gadis yang sangat cantik wajahnya. Dialah gadis yang terdapat dalam rombongan yang ditemui Skolong beberapa kali dalam perjalanan pulangnya menuju kampung halamannya!
Cue lantas memanggil cue-cue lainnya. Diperintahkannya agar cue-cue itu melepaskan kulit cue mereka. Maka, sejenak kemudian cue-cue itu berubah menjadi pemuda-pemuda yang tampan dan gadis-gadis yang cantik wajahnya. Cue lalu memimpin orang-orang itu menuju tempat pesta itu dilangsungkan.
Semua orang di pesta itu begitu terpesona pada Cue. Termasuk Skolong pula. Skolong ingin benar berkenalan dengan gadis yang sangat cantik itu. Namun, keinginan itu dipendamnya di dalam hatinya saja. Padahal ia mengetahui, gadis itu pernah ditemuinya beberapa kali dalam perjalanannya pulang dari rumah bibinya.
Setelah berada di pesta itu beberapa saat, Cue dan rombongannya bergegas meninggalkan tempat pesta tersebut. Mereka seperti menghilang hingga Skolong dan warga yang ingin mengetahui siapa sesungguhnya mereka itu hanya dapat terheran-heran.
Pada malam harinya, Skolong bermimpi. Seseorang dalam impiannya berpesan kepadanya, jika Skolong bertemu dengan gadis berwajah sangat cantik yang memesonanya itu, Skolong hendaknya menuju pancuran air desanya. Kata orang itu, “Temukan kulit cue yang disimpan di bawah batu lempeng di dekat pancuran air.”
Keesokan harinya Skolong kembali melihat gadis berwajah cantik jelita itu datang kembali ke pesta beserta rombongannya. Skolong bergegas menuju pancuran air. Di bawah batu lempeng yang berada di dekat pancuran air ia menemukan kulit cue, persis seperti pesan seseorang di dalam impiannya. Skolong lantas mengambil dan membawa kulit cue tersebut ke tempat pesta.
Setibanya di tempat pesta, Skolong melemparkan kulit cue itu ke dalam api. Bersamaan dengan terbakarnya kulit cue itu, gadis berwajah sangat cantik yang tengah menari itu jatuh pingsan. Skolong bergegas mengambil kulit cue yang belum terbakar dan mencelupkannya ke dalam air. Diteteskannya air yang berasal dari celupan kulit cue itu ke wajah si gadis cantik. Gadis berwajah sangat cantik itu kembali sadar.
Skolong lantas bertanya, “Siapakah sesungguhnya kamu ini?”
“Sesungguhnya saya ini Cue, anak bibimu,” jawab si gadis berwajah sangat cantik.
Skolong sangat terkejut. Sama sekali tidak diduganya jika Cue ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik. Ia lantas meminta maaf kepada Cue karena selama itu tidak menghiraukan Cue. Bahkan, ia pernah menolak Cue untuk menjadi istrinya.
Cue memaafkan kesalahan Skolong karena ia dapat menyadari jika Skolong terpaksa melakukannya karena melihat wujudnya yang mengerikan. Selain itu, Cue juga sangat mencintai Skolong. Tak lama berselang, Skolong dan Cue pun menikah. Perjanjian perjodohan yang dilakukan keluarga Skolong dan keluarga bibi Skolong akhirnya dapat terlaksana.
Skolong dan Cue hidup berbahagia selaku suami-istri hingga akhir hayat keduanya.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Dari Nusantara : Skolong dan Cue adalah jangan semata-mata memandang seseorang dari wujud atau penampilan luarnya saja. Kecantikan sejati sesungguhnya berada di dalam jiwa dan tercermin dalam ucapan dan tindakan.