Kalau bicara tentang cerita rakyat, hampir setiap daerah di Indonesia pasti punya cerita rakyat termasuk Jawa Barat. Bagi Anda yang berasal dari suku Sunda, salah satu cerita rakyat Jawa Barat yang bisa menjadi pilihan untuk dibacakan adalah cerita rakyat Ciung Wanara.
Cerita rakyat ini adalah tentang hubungan budaya antara suku Sunda dan Jawa yang berada di bagian sebelah barat provinsi Jawa Tengah pada masa Kerajaan Sunda Galuh. Seperti apa kisah selengkapnya? Yuk simak!
Cerita Rakyat Ciung Wanara dari Jawa Barat
Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan bernama Galih Pakuan dengan raja yang memerintah bernama Prabu Permana di Kusumah. Kerajaan tersebut memiliki menteri bernama Aria Kebonan yang pada suatu hari datang ke kerajaan untuk menyampaikan laporan tentang wilayah yang diurusnya.
Di dalam istana tersebut, Aria Kebonan disuguhi berbagai makanan. Ia pun menyaksikan kehidupan raja dengan kekaguman luar biasa sembari berharap di dalam hatinya bahwa suatu hari nanti ia (Aria Kebonan) juga akan menjadi seorang raja.
Tak disangka, ternyata sang raja tahu apa yang ada di dalam hati Aria Kebonan. Namun sang raja tidak marah. Ia malah memperbolehkan Aria Kebonan menjadi raja di kerajaannya untuk sementara waktu karena sang raja akan pergi bertapa.
Akan tetapi ada dua syarat yang diberikan oleh Prabu Permana di Kusumah untuk Aria Kebonan. Syarat pertama, ia harus memerintah dengan adil dan bijaksana. Kedua, Aria Kebonan dilarang memperlakukan permaisuri di istana seperti istrinya sendiri.
Aria Kebonan setuju dengan syarat yang diberikan raja tersebut. Dengan kesaktiannya, sang raja pun membuat wajah Aria Kebonan menjadi lebih muda dan diberi nama Prabu Barma Wijaya Kusumah. Sosoknya pun diperkenalkan sebagai raja kepada rakyat.
Syarat yang dilanggar
Prabu Barma Wijaya Kusumah yang notabennya adalah Aria Kebonan berubah drastis menjadi pribadi yang sangat sombong setelah menjadi raja. Ia pun melanggar syarat yang kedua, ia memperlakukan permaisuri kerajaan yakni Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum seperti istrinya sendiri.
Hingga suatu hari, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum bermimpi. Ia mimpi kejatuhan dan menimang bulan. Sebuah mimpi yang terasa aneh karena biasanya mimpi semacam itu hanya dialami oleh perempuan yang sedang hamil.
Merasa tak memperlakukan kedua permaisuri seperti istri sendiri, Prabu Barma Wijaya Kusumah memanggil petapa untuk menjelaskan arti dari mimpi tersebut.
Sang petapa pun datang ke kerajaan. Ia bernama Ajar Sukaresi. Namun yang Prabu Barma Wijaya Kusumah tidak tahu bahwa sebenarnya Ajar Sukaresi ini adalah Prabu Permana di Kusumah yang sedang menyamar. Setelah menerawang, Ajar Sukaresi menyampaikan bahwa kedua permaisuri hamil anak laki – laki.
Mendengar hal tersebut, Prabu Barma Wijaya Kusumah marah. Ia bahkan berusaha membunuh Ajar Sukaresi dengan keris, hanya saja keris tersebut bengkok. Meski begitu, tubuh Ajar Sukaresi roboh dan kemudian berubah menjadi seekor naga bernama Nagawiru.
Terawangan benar, permaisuri hamil
Sementara itu, permaisuri yang diterawang Ajar Sukaresi hamil ternyata benar – benar hamil. Dewi Pangrenyep pun melahirkan anak laki – laki yang kemudian diberi nama Hariang Banga. Sementara Dewi Naganingrum telat melahirkan.
Namun di sisi lain, janin di dalam rahim Dewi Naganingrum bisa berbicara. Ia bahkan mengatakan bahwa kekuasaan Prabu Barma Wijaya Kusumah akan segera musnah karena sikapnya yang jahat dan janji – janjinya yang diingkari.
Mendengar apa yang dikatakan janin di dalam rahim Dewi Naganingrum, Prabu Barma Wijaya Kusumah marah. Prabu Barma Wijaya Kusumah kemudian bersekongkol dengan Dewi Pangrenyep untuk menukar bayi Dewi Naganingrum dengan anak anjing setelah ia lahir.
Dewi Naganingrum melahirkan
Persekongkolan antara Prabu Barma Wijaya Kusumah dan Dewi Pangrenyep berhasil. Dewi Naganingrum tentu sedih karena melahirkan anak seekor anjing, terlebih ia dijatuhi hukuman mati.
Ketika hari hukuman tiba, seorang petugas kerajaan bernama Uwa Batara Lengser diminta memimpin eksekusi terhadap Dewi Naganingrum. Hanya saja Uwa Batara Lengser merasa bahwa ia tak pantas menghukum kesalahan yang sebenarnya tidak pernah terjadi karena merupakan kesalahan yang dibuat – buat oleh Prabu Barma Wijaya Kusumah untuk menyingkirkan sang permaisuri.
Uwa Batara Lengser pun memiliki ide cemerlang. Ia hanya membawa Dewi Naganingrum ke hutan namun tidak membunuhnya. Ia menyembelih seekor ayam dan kemudian menggunakan darah ayam tersebut untuk melumuri pakaian sang permaisuri. Pakaian tersebut dibawa pulang dan ditunjukkan kepada Prabu Barma Wijaya Kusumah.
“Bagaimana? Kamu sudah melaksanakan tugas?” tanya Prabu Barma Wijaya Kusumah.
“Sudah raja, ini bukti bahwa Dewi Naganingrum sudah kami bunuh.” tandas Uwa Batara Lengser.
Nasib bayi Dewi Naganingrum
Bayi Dewi Naganingrum tidak dibunuh. Ia dibuang ke sungai dan ditemukan sepasang suami istri di desa Geger Sunten, sebuah desa di tepi Sungai Citanduy.
Bayi tersebut dirawat dengan penuh kasih sayang oleh sepasang suami istri tersebut, hingga ia tumbuh besar menjadi pemuda dewasa.
Suatu hari, pemuda dan ayahnya pergi ke hutan. Di sana, mereka melihat seekor burung dan seekor monyet yang disebut Ciung dan wanara. Karena tertarik dengan kedua nama itu, sang pemuda mengusulkan kepada ayahnya agar ia dipanggil Ciung Wanara saja.
Di desa tersebut, Ciung Wanara sangat dihormati karena penduduk desa yakin ia merupakan keturunan bangsawan Galuh. Penasaran dengan asal usulnya, ia pun meminta izin kepada orang tua angkatnya untuk mencari orang tua kandungnya.
Ia pun pergi dibekali sebutir telur dan menasehati Ciung Wanara agar nanti telur tersebut dijaga agar bisa ditetaskan menjadi unggas. Hanya saja di tengah perjalanan, Ciung Wanara tidak menemukan unggas, melainkan bertemu Nagawiru. Kepada Nagawiru, Ciung Wanara meminta telurnya ditetaskan.
Setelah menetas, telur tersebut menjadi anak ayam dan dibawa oleh Ciung Wanara menemani perjalanannya ke Galuh. Anak ayam juga tumbuh hingga menjadi ayam dewasa ketika sampai di tujuan.
Ikut sabung ayam
Di kawasan Galuh tersebut, ayam Ciung Wanara ikut perlombaan sabung dan selalu menang. Kabar kemenangan ayam Ciung Wanara pun sampai di telinga Prabu Barma Wijaya Kusumah.
Karena penasaran, Prabu Barma Wijaya Kusumah meminta Uwa Batara Lengser mencari keberadaan Ciung Wanara. Hanya saja setelah bertemu, Uwa Batara Lengser ingat bahwa pemuda itu adalah anak Dewi Naganingrum yang dibuang. Ia pun menceritakan apa yang diperbuat oleh Prabu Barma Wijaya Kusumah kepada Ciung Wanara dan ibunya di masa lalu.
Tantangan Ciung Wanara untuk Sang Raja
Uwa Batara Lengser tentu saja memberi saran kepada Ciung Wanara untuk menantang Prabu Barma Wijaya Kusumah. Ciung Wanara pun menghadap Prabu Barma Wijaya Kusumah.
Ia menjalankan saran dari Uwa Batara Lengser. Ia menantang Prabu Barma Wijaya Kusumah dan meminta imbalan setengah kerajaan sebagai taruhannya jika ia menang.
Prabu Barma Wijaya Kusumah setuju dan sabung ayam pun dimulai. Hasilnya, ayam Ciung Wanara menang telak. Kemenangan tersebut tentu menjadikan Ciung Wanara sebagai raja dari setengah kerajaan. Ia mulai memimpin dan membangun penjara bagi orang – orang jahat.
Tentu Ciung Wanara juga berniat menjebloskan Prabu Barma Wijaya Kusumah serta Dewi Pangrenyep ke penjara. Setelah mengantongi bukti bahwa keduanya bersalah atas dirinya dan sang ibu, Prabu Barma Wijaya Kusumah dan Dewi Pangrenyep pun resmi dipenjara.
Hal tersebut tentu membuat Hariang Banga, anak dari Dewi Pangrenyep tidak tenang. Sebuah rencana pemberontakan pun disiapkan untuk membuat Ciung Wanara lengser dari kedudukannya.
Pemberontakan dimulai
Duel antara Hariang Banga dan Ciung Wanara pun terjadi. Pertempuran besar tersebut tak terelakkan. Hanya saja di tengah duel keduanya, sosok sang raja asli yaitu Prabu Permana di Kusumah muncul bersama Dewi Naganingrum dan Uwa Batara Lengser.
Kepada Hariang Banga dan Ciung Wanara, raja Prabu Permana di Kusumah menjelaskan bahwa keduanya adalah saudara. Agar tidak terjadi pertarungan berkelanjutan, Prabu Permana di Kusumah pun mengeluarkan titah secara adil.
Ciung Wanara akan memimpin Galuh, sementara Hariang Banga akan menjadi pemimpin negara baru di timur Sungai Brebes.
Pesan moral cerita rakyat Ciung Wanara
Pesan moral dari cerita rakyat Ciung Wanara dari Jawa Barat adalah bahwa setiap perbuatan ada konsekuensi atau balasannya. Demikian dengan ketidakadilan pasti akan menemui kehancuran suatu saat nanti. Karena itu belajarlah menjadi orang yang bertanggungjawab, adil, bijaksana dan berbuat baik kepada sesama.
Ingin tahu cerita rakyat dari Jawa Barat lainnya? Baca : Cerita Rakyat Sangkuriang, Cerita Asal Jawa Barat yang Jadi Awal Legenda Tangkuban Perahu
Baca juga : Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Barat : Sangkuriang dan Lutung Kasarung
Demikian informasi yang kami dapat bagikan terkait cerita rakyat Ciung Wanara dari Sunda. Semoga menjadi cerita yang menginspirasi.