Cerita legenda Bengkulu yang mengisahkan pertarungan Gajah Merik melawan Ular berkepala tujuh menjadi Cerita Rakyat Bengkulu yang kami pilih di hari minggu ini. Banyak sekali cerita rakyat dari Bengkulu yang pernah kami posting di blog dongengceritarakyat.com diantaranya adalah pada posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Anak Pendek Indonesia Terbaik, Kumpulan Kisah Legenda : Bujang Awang Tabuang, Kumpulan Cerita Anak Dongeng Nusantara dan Contoh Cerpen Legenda : Kisah Batu Kuyung. Tanpa berlama-lama ini dia kisah lengkap cerita rakyat Bengkulu Legenda Ular Berkepala Tujuh
Cerita Rakyat Bengkulu : Kisah Legenda Gajah Merik
Ampun Baginda, “Pangeran Gajah Meram dan istrinya hilang di Danau Tes,” lapor pengawal pada Raja Bikao Bermano.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi? Cepat, kerahkan seluruh pengawal untuk mencari mereka!” teriak Raja panik. Para pengawal kembali tanpa hasil. Lalu Raja mengumpulkan semua menteri, panglima, dan pengawal. “Bagaimana cara menemukan anak dan menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano risau.
“Ampun Raja, yang hamba tahu, ada ular berkepala tujuh yang menjaga Danau Tes. Apakah mungkin Pangeran Gajah Meram dan istrinya diculik oleh ular itu?” kata seorang panglima. “Benar, katanya ular itu sungguh kejam dan licik. Tak mudah untuk mengalahkannya!” kata panglima yang lain. “Lalu kita harus bagaimana?” tanya Raja Bikau Bermano. Suasana menjadi hening. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba, Gajah Merik, putra bungsu Raja Bikau Bermano, angkat bicara, “Jika Ayah mengizinkan, aku akan menghadapi ular itu!” katanya mantap.
“Gajah Merik, ular itu sangat besar. Kepalanya saja tujuh. Kau bisa binasa karenanya,” kata Paman Menteri. “Ampun Ayah, maaf Paman Menteri. Bolehkah aku menyampaikan sesuatu?” jawab Gajah Merik.
“Apa yang hendak kau sampaikan?” tanya Raja.
“Begini Ayah, selama ini aku sering bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang sakti. Ia memberiku ilmu untuk mengalahkan ular berkepaIa tujuh itu. Jadi, aku tahu cara menghadapinya,” jawab Gajah Merik.
“Nak, ini bukan mimpi. Kau akan menghadapi ular besar yang ganas. Kakandamu yang telah dewasa saja tak mampu menghadapinya. Apalagi kau yang baru berusia 12 tahun.”
Gajah Merik bersikeras, “Sekali ini, percayalah padaku Ayah. Jika kita terlambat, Kakanda akan binasa dimangsa ular itu.”
Setelah berunding sejenak, akhirnya Raja Bikau Bermano mengabulkan keinginan Gajah Merik. “Tapi ada syaratnya. Kau harus ditemani oleh prajurit-prajurit terbaik kita,” kata Raja.
“Baiklah, Ayah. Tapi sebelum ke Danau Tes, aku harus Iebih dulu bertapa di Tepat Topes. Kakek itu mengatakan, aku akan mendapat senjata pusaka. Semoga Ayah merestui,” kata Gajah Merik sambil mencium tangan ayahnya.
Gajah Merik pergi ke Tepat Topes sendiri. Di sana ia bertapa selama tujuh hari. Selama itu pula sang kakek menemuinya untuk mengasah ilmu Gajah Merik. Tepat pada hari yang ketujuh, Gajah Merik mendapatkan senjata pusakanya. Sebuah keris dan sehelai selendang. “Keris ini dapat membuatmu berjalan di dalam air, dan selendang ini dapat berubah menjadi pedang yang tajam,” kata kakek itu.
“Terima kasih, Kek. Doakan aku, ya,” pamitnya.
Gajah Merik kembali ke istana untuk menjemput para pengawal yang akan menemaninya ke Danau Tes. Namun, ia lalu berubah pikiran. “Jika aku membawa banyak pengawal, pasti akan ketahuan. Lagi pula, ular itu sangat jahat, bisa-bisa nanti banyak yang terbunuh. Lebih baik aku menghadapinya seorang diri ,” katanya dalam hati. Gajah Merik berubah haluan dan langsung menuju Danau Tes sendiri.
Di Danau Tes, Gajah Merik menusukkan kerisnya ke dalam air. Keajaiban terjadi, ia dapat masuk ke dalam danau dengan sangat mudah. Ia seperti layaknya sedang berjalan di darat. Gajah Merik tiba di sebuah gua yang sangat menyeramkan. Tiba-tiba air danau bergerak dengan cepat dengan gelmebang besar menghantam Gajah Merik. Namun tubuh Gajah Menik kokoh tak bergeming. “Siapa kau, Anak Muda? Mau apa kau kemari?” tanya seekor ular besar berwarna hitam. Ular itu dikawal oleh dua ular berwarna hijau dan cokelat.
Gajah Merik sangat terkejut, tapi ia tidak takut. “Namaku Gajah Merik. Aku ke sini untuk menyelamatkan kakakku Gajah Meram dan istrinyan jawabnya lantang.
“Ha.. ha.. ha.., Iawanlah kami dulu anak kecil,” tawa mereka.
“Siapa takut?” jawab Gajah Merik sambil mengeluarkan selendangnya. Ciaatttt… secepat kilat, Gajah Merik meloncat sambil mengibaskan selendangnya. Selendang itu berubah menjadi pedang! Dalam sekejap, ketiga ular itu terbunuh. Gajah Merik dengan leluasa memasuki gua.
“Berhenti!” tiba-tiba terdengar teriakan lagi. Kali ini, ular berkepala tujuhlah yang muncul. “Anak manusia… siapa kau? Berani sekali kau membunuh ketiga pengawalku?” tanya ular berkepala tujuh.
“Namaku Gajah Merik. Aku mau membebaskan kakakku, Pangeran Gajah Meram dan istrinya yang telah kau culik,” jawab Gajah Merik.
Ular berkepala tujuh menggerak-gerakkan kepalanya, seolah ingin menerkam Gajah Merik. “Hmm… baiklah. Aku akan membebaskan mereka, tapi ada syaratnga,” katanya. “Pertama-tama, hidupkan kembali para pengawalku. Dan yang kedua, tentu saja, kau harus mengalahkan aku,” Ianjutnya.
Gajah Merik setuju. Dengan ilmu yang diajarkan kakek tua lewat mimpinya, Gajah Merik menghidupkan kembali ular-ular itu. “Hebat juga bocah ingusan ini,” pikir ular berkepala tujuh.
“Ayo ular licik, Iawan aku!” kata Gajah Merik sambil mengeluarkan selendangnya. Mereka pun bertarung dengan seru dan seimbang. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk menjatuhkan Iawan.
Sudah tiga hari mereka bertarung. Mereka kelelahan dan akhirnya menghentikan pertarungan. Ular berkepala tujuh berkata pada Gajah Merik, “Anak muda, aku mengakui kehebatanmu. Belum pernah ada orang yang mampu melawanku sedemikian hebatnya.” Sambil terengah-engah, Gajah Merik menjawab “Jika begitu, bebaskan kakakku. Kita tak perlu melanjutkan pertarungan ini.”
Ular berkepala tujuh berpikir sejenak. “Ia benar juga. Sia-sia saja meIanjutkan pertarungan ini.” Pangeran Gajah Meram dan istrinya akhirnya dibebaskan oleh ular kepala Tujuh.
Sementara itu, di istana, Raja Bikau Bermano cemas menanti Gajah Merik. Jadi beliau mengutus para pengawalnya menyusul ke Tepat Topes. Namun, Pangeran Gajah Merik tidak ditemukan di Tepat Topes. Para pengawal bingung dan segera hendak kembali ke kerajaan untuk melaporkan hal tersbeut kepada Sri Baginda Raja. Dalam perjalanan pulang menuju Istana para pengawal itu bertemu dengan Gajah Merik dan Gajah Meram. “Pangeran telah kembali… kedua pangeran telah kembali!” teriak para pengawal bahagia. Raja segera keluar untuk menyambut kedua putranya. Mereka bersuka cita karena dapat berkumpul kembali. “Ayah bangga padamu. Maafkan Ayah, jika sebelumnya meragukanmu,” kata sang Raja pada Gajah Merik.
Beberapa tahun kemudian, Raja Bikau Bermano bermaksud untuk menyerahkan takhtanya pada Gajah Meram, namun ia menolak. “Gajah Meriklah yang pantas menjadi raja, Ayah,” kata Gajah Meram kepada sang Raja. Raja Bikau Bermano menanyakan kesediaan Gajah Merik.
Ternyata Gajah Merik bersedia menerima permintaan ayahhandanya dengan satu syarat. “Aku ingin ular berkepala tujuh dan para pengawalnya diajak tinggal di istana. Aku akan menjadikan mereka pengawal khususku. Dengan begitu, mereka tidak akan mengganggu orang di Danau Tes lagi,” katanya. Raja setuju. Ular berkepala tujuh dan pengawalnya dijemput dari Danau Tes. Mereka kemudian menjadi pengawal kepercayaan Raja Gajah Merik.
Pesan dari Cerita Rakyat dari Bengkulu : Legenda Gajah Merik adaIah Selagi muda, pelajari hal-hal yang dapat kamu gunakan’ untuk menolong sesama. Usia muda bukanlah halangan untuk meraih kesuksesan, asalkan tekun, kamu pasti bisa menggapainya.