Cerita Pendek Anak Terbaru (Cerita Rakyat Maluku)

Legenda Telaga Biru merupakan cerita pendek anak dari Maluku Utara. Pada kisah ini diceritakan mengenai betapa besarnya cinta sepasang kekasih yang saling mencintai. Jika pada cerita rakyat Maluku sebelumnya Kakak bercerita tentang asal muasal empat Kesultanan dan kumpulan cerita tentang hewan yang ada di Maluku, maka pada artikel kali ini Kakak akan bercerita tentang sebuah legenda yang menjadi kisah asal muasal Telaga Biru yang ada di desa Lisawa Maluku Utara.

Cerita Pendek Anak (Cerita Rakyat Maluku) Legenda Telaga Biru

Tersebutlah sebuah desa di Maluku Utara pada zaman dahulu. Desa Lisawa namanya. WiIayah desa Lisawa berbatu-batu. Air sulit didapatkan di daerah itu. Warga desa harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih untuk dipakai keperluan sehari-hari.

Pada suatu hari warga Lisawa dikejutkan dengan munculnya air bersih yang memancar dari sela-sela bebatuan di bawah pohon beringin. Air itu sangat jernih. Air terus mernancar hingga akhirnya membentuk sebuah telaga kecil. Mendapati kejadian aneh itu tetua adat dan sesepuh warga bertemu dan kemudian meminta segenap warga desa Lisawa untuk berkumpul. Mereka akan mengadakan upacara adat pemanggilan roh-roh leluhur dan penyembahan kepada Jou Giki Moi atau Jou Maduhutul. Untuk memanggil datang segenap warga, dipukullah dolodolo atau kentongan.

Cerita Pendek Anak  Cerita Rakyat Maluku Legenda Telaga Biru
Cerita Pendek Anak Cerita Rakyat Maluku Legenda Telaga Biru

Warga Lisawa segera berkumpul di halaman rumah sang tetua adat setelah mendengar suara dolodolo dipukul. Upacara adat segera dilakukan. Tetua adat dan sesepuh warga melantunkan mantra dan doa permohonan. Mereka meminta roh-roh leluhur memberitahu perihal kejadian menghebohkan dengan mendadak munculnya mata air yang terus membesar hingga membentuk telaga berair jernih kebiru-biruan tersebut. Mereka akhirnya mendapatjawaban dari roh leluhur, “Timbul dari sininga irogi de itepi sidago kongo dahulu de i uhi imadadi ak majobubu. (Muncul akibat patah hati, hati yang remuk redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber air).”

Tetua adat pun menjelaskan kepada segenap warga desa Lisawa, bahwa mata air itu muncul Tuhan Yang Esa atau Tuhan Sang Pencipta karena adanya tetesan air mata dari seseorang yang patah hati. Tetesan air mata itu terus mengalir hingga menjadi sumber air. Tanya tetua adat kemudian, “Siapakah di antara warga desa Lisawa yang sekarang ini tidak hadir di tempat ini dan juga tidak ada di rumah?”

Setelah masing-masing warga desa memeriksa, terdapat dua orang yang tidak hadir di rumah tetua adat ketika itu dan juga tidak ada di rumah. Mereka terdiri dari seorang pemuda dan seorang gadis. Magohiduuru dan Mojojaro, begitu yang disebutkan orangtua masing-masing Magohiduuru maupun Mojojaro.

Orangtua Magohiduuru menjelaskan, Magohiduuru telah pergi selama setahun untuk merantau. “Hingga saat ini,” kata orang tua Magohiduuru, “kami tidak mendengar beritanya. Tidak pula kami ketahui kapan rencana kepulangan anak kami itu.”

Orang tua Mojojaro juga menjelaskan anak mereka telah pergi dari rumah sejak tiga hari. “Hingga saat ini kami tidak mengetahui ke mana anak kami itu pergi. Kami telah mencarinya, namun juga tidak kami ketemukan.”

Apakah ada hubungan antara hilangnya Magohiduuru, Mojojaro, dan juga kemunculan mata air yang akhirnya berubah menjadi telaga berair jernih berwarna kebiru-biruan tersebut?

Tanpa diketahui oleh kedua orangtua masing- masing dan juga warga desa Lisawa, sebenarnya Magohiduuru telah menjalin hubungan dengan Mojojaro. Keduanya adalah sepasang kekasih. Sebelum berangkat untuk pergi merantau, Magohiduuru berpamitan kepada Mojojaro. Baik Magohiduuru maupun Mojojaro berjanji untuk saling setia. Magohiduuru berjanji akan memegang kesetiaannya meski berjauhan dari kekasihnya dan Mojojaro juga berjanji untuk setia menunggu kepulangan kekasihnya. Mereka bahkan merencanakan akan meresmikan hubungan mereka kejenjang pernikahan setelah Magohiduuru pulang dari perantauan.

Janji Magohiduuru ketika itu, “Lebih balk aku mati daripada mengkhianati cintaku.”

Janji itu pun disambut Mojojaro yang juga menyatakan lebih baik mati dibandingkan mengkhianati cintanya. Tanpa diketahui orangtua Magohiduuru maupun warga desa Lisawa lainnya, kecuali oleh Mojojaro, Magohiduuru mengalami musibah yang akhirnya merenggut nyawa Magohiduuru. Kapal yang ditumpangi Magohiduuru diserang badai di tengah pelayaran hingga kapal berikut seluruh isinya karam.

Tak terkirakan sedihnya Mojojaro ketika mengetahui kekasihnya telah meninggal dunia. Ia tak ingin lagi hidup tanpa berdampingan dengan kekasih hatinya. Dengan hati yang hancur, ia pun meninggalkan rumahnya. Ia berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti ke mana langkah kakinya. Hingga akhirnya ia tiba di bawah pohon beringin. Duduk bersimpuhlah ia di bawah pohon beringin itu. Air matanya terus bercucuran ketika mengingat kekasih hatinya. Begitu banyak lagi derasnya air mata yang mengucur dari kedua matanya hingga dirinya akhirnya tenggelam karenanya. Air jernih yang mengalir dari sela-sela bebatuan itulah air yang berasal dari air mata Mojojaru. Warna air yang kebiru-biruan bermula dari warna biru pupil mata Mojojaro.

Segenap warga desa Lisawa akhirnya mengetahui kejadian menghebohkan yang berlangsung di desa mereka. Orangtua Magohiduuru sangat sedih ketika mengetahui anak lelaki mereka telah tiada. Begitu pula dengan orang tua Mojojaro. Namun, mereka juga kagurn dengan kesetiaan yang dilakukan sepasang kekasih itu, terutama pada Mojojaro.

Tetua adat dan juga sesepuh desa Lisawa pun menyatakan, mereka hendaknya meniru kesetiaan seperti yang dilakukan Mojojaro. Mereka akhirnya berjanji untuk setia menjaga telaga kecil berwarna kebiru-biruan itu seperti yang telah ditunjukkan Mojojaro terhadap Magohiduuru.

Janji itu tetap kukuh dipegang. Segenap warga Lisawa menjaga dengan sungguh-sungguh keasrian telaga biru itu. Mereka memanfaatkan air jernih tersebut untuk kebutuhan hidup, namun mereka sangat menjaga kelestariannya. Senantiasa mereka teringat pada besarnya kesetiaan dan pengorbanan Mojojaro terhadap kekasih hatinya hingga tak ingin mereka mengotori telaga biru itu. Mereka ingin tetap menjaga kelestarian telaga biru seperti Iestarinya cinta Mojojaro terhadap Magohiduuru.

Pesan moral dari Cerita Pendek Anak (Cerita Rakyat Maluku) Legenda Telaga Biru adalah hendaklah kita setia pada janji yang telah kita ucapkan. Janji itu laksana hutang hingga perlu kita menepatinya. Selain itu jaga dan lestarikan lingkungan agar manfaatnya bisa digunakan secara turun temurun. Merusak lingkungan hanya akan menyebabkan kerugian bagi kita dimasa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan