Cerita dongeng yang pendek dari Bengkulu ini menjadi kisah asal muasal nama satu danau yang dikenal dengan nama Danau Dendam Tak sudah. Ceritanya cukup sedih namun menarik untuk di ketahui. Yuk kita ikuti ceritanya sampai selesai.
Cerita Dongeng Yang Pendek : Legenda Danau Dendam Tak Sudah
Pada zaman dahulu tersiarlah kisah muda-mudi yang saling jatuh cinta. Si gadis bernama Esi Marliani dan si perjaka sering dipanggil Buyung. Esi si gadis jelita bunga desa, Buyung pria tampan perkasa terkenal dengan keberaniannya. Kisah-kasih mereka sangat indah dan mempesona. Rasa cinta mereka ditunjukkan dengan ekspresi diri yang terkadang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Seolah dunia ini hanya milik berdua.
Suatu hari di hamparan padang ilalang dan pohon-pohon cempedak yang sedang berbuah, mereka memadu kasih. Berdua bernyanyi dan bersenda gurau. Canda tawa membuat iri setiap orang yang melihatnya. Termasuk para hewan penghuni hutan, rusa, tupai, dan biawak menyaksikan pertunjukan kemesraan dua insan yang sedang kasmaran. Tak urung, mereka saling mengejar dan berkeliling mengitari pohon cempedak. Akar-akar pohon beringin pun tidak dapat mengingkari besarnya cinta mereka ketika tangan-tangan penuh kelembutan sang gadis dibarengi ketangkasan sang perjaka, memegang kuat akar-akar tersebut. Mereka berayun dan bergelantungan pada akar-akar sambil bersenandung penuh penghayatan.
Nasib tak untung di badan, kedua muda-mudi yang sedang jatuh cinta, tidak mendapat restu orang tua sang perjaka. Sang perjaka sudah dijodohkan dengan seorang gadis anak kepala suku dari kampung sebelah. Gadis tersebut tak kalah menarik dengan Esi. Orang-orang memanggilnya Si Upik Leha. Bahkan kecantikan Upik Leha yang luar biasa menjadi buah bibir semua warga kampung. Buyung pun tak berdaya ketika hatinya terpaut Upik Leha dan melupakan cinta Esi. Rasa kecewa dan sakit hati tak dapat dibendung oleh Esi. Betapa hancur dan remuk redam perasaannya menerima kenyataan sang pujaan hati berpaling darinya.
Musim kawin pun tiba. Kesepakatan orang tua Buyung dan Upik Leha sudah bulat. Mereka menyelenggarakan perhelatan besar untuk perkawinan anak-anaknya. Kedua mempelai diarak keliling kampung dan menjadi tontonan warga. Esi sangat terluka dan menjadi putus asa. Dia menangis sejadi-jadinya. Jeritan tangisnya seperti lolongan anjing hutan di tengah malam. Tidak hanya manusia yang merasa iba, hewan-hewan pun turut berduka dan seolah merasakan kepedihan Esi. Burung, bebek, dan kucing pun tak kuasa menahan air mata.
Rasa sakit hati Esi berubah menjadi dendam yang membara terhadap Buyung. Derai tangisnya tidak berhenti dan mengalirkan air mata seperti air bah. Semakin lama semakin membesar dan menerjang seisi kampung. Arak-arakan kedua mempelai tak luput dari amukan air bah. Kedatangan air bah ini sangat tidak masuk akal. Seluruh kampung kebanjiran, seluruh warga dan kedua mempelai pun menjadi korban bencana tiba-tiba tersebut. Tidak ada yang selamat. Semua tenggelam dalam banjir besar itu. Linangan air mata Esi kemudian membentuk sebuah danau. Di kemudian hari danau tersebut dikenal dengan sebutan “Danau Dendam Tak Sudah”. Pada akhirnya Esi pun tak bisa selamat, tenggelam bersama semua warga kampung.
Diceritakan bahwa kedua mempelai korban banjir air mata Esi berubah menjadi sepasang ular tikar. Kadang-kadang mereka menampakkan diri dari kejauhan. Sementara itu terlihat Esi pun muncul bersama mereka. Kedua kaki Esi berdiri menginjak sepasang ular tikar tersebut. Kaki kiri menginjak ular tikar betina, sedangkan kaki kanan menginjak ular tikar jantan.
Pesan moral dari cerita dongeng yang pendek adalah takdir tidak dapat dipungkiri. Manusia harus menerima takdir hidup yang telah digariskan sang Ilahi. Tidak ada yang dapat mencegah ketika Sang Maha Kuasa mengubah sesuatu di luar nalar kita sebagai manusia. Kita juga hendaknya menyingkirkan sifat-sifat buruk seperti dendam, karena akan membuat celaka orang banyak termasuk dirinya sendiri.