Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak

Posting kali ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi yang cocok digunakan sebagai cerita dongeng sebelum tidur untuk anak-anak. Pada posting kali ini kami akan menceritakan dua buah cerita rakyat yang sama-sama berasal dari Sulawesi. Kami yakin sebagian besar dari pembaca belum pernah mendengar cerita anak ini. Dengan memposting artikel ini kami berharap Ayah dan Bunda memiliki tambahan cerita dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.

Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak : Balas Budi Si Burung Beo

Ambo Upe adalah seorang anak petani yang hidup pada zaman dahulu. Ia sangat rajin bekerja membantu orangtuanya. Sangat patuh pula ia pada kedua orangtuanya. Sehari-hari Ambo Upe menggembalakan kerbau.

Pada suatu hari Ambo Upe kembali menggembalakan enam kerbaunya. Dibiarkannya kerbau-kerbaunya itu bebas merumput sementara ia beristirahat di bawah pohon asam yang rindang. Mendadak seekor anak burung jatuh di dekat Ambo Upe. Anak burung itu terlihat terluka. Ambo Upe lantas mengambil anak burung itu. Dibawanya pulang ke rumah dan diberinya obat pada luka yang diderita si anak burung. Dengan penuh kasih sayang dirawatnya anak burung itu.

Setelah beberapa saat merawat, Ambo Upe mengetahui jika anak burung yang dirawatnya itu adalah anak burung beo. Seiring kian bertambahnya sang waktu, burung beo itu menjadi jinak dengan Ambo Upe. Meski burung beo itu tidak dikandangkan, ia tidak juga terbang menjauh. Kerap ia hinggap di bahu Ambo Upe jika dilihatnya Ambo Upe tengah duduk atau beristirahat. Setiap kali Ambo Upe menggembalakan kerbau-kerbaunya, tak lupa burung beo itu turut serta dengannya.

Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak Balas Budi Si Burung Beo
Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak Balas Budi Si Burung Beo

Pada suatu hari Ambo Upe tertidur ketika tengah menggembalakan kerbau-kerbaunya. Seekor ular berbisa merayap ke arah Ambo Upe. Si burung beo yang mengetahui bahaya yang mengancam Ambo Upe segera bertindak. Dengan cepat dipatuknya mata ular berbisa itu. Ular berbisa itu menggeliat-geliatkan tubuhnya karena kesakitan sebelum akhirnya merayap pergi. Si burung beo lantas mengepak -ngepakkan sayapnya di dekat telinga Ambo Upe hingga Ambo Upe terbangun membahayakan. Seketika mengetahui peristiwa yang hampir membahayakan jiwanya, Ambo Upe berterima kasih kepada si burung beo. Dielus-elusnya kepala burung beo itu seraya mengucapkan terima kasih.

Beberapa waktu kemudian terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Rumput-rumput di padang penggembalaan mengering. Ambo Upe lantas berniat menggembalakan kerbau- kerbaunya di pinggir hutan yang masih banyak terdapat rumput di sana. Para penggembala lainnya tidak berani menggembalakan hewan gembalaan di tempat itu karena daerah itu adalah daerah rawan. Hutan itu kerap dijadikan tempat persembunyian para perampok.

Benarlah kekhawatiran para penggembala. Beberapa saat Ambo Upe membiarkan kerbau- kerbaunya merumput di tempat itu, dua perampok datang dan menyergap Ambo Upe. Mereka mengikat Ambo Upe di sebuah pohon dan membawa enam kerbau gembalaan Ambo Upe ke dalam hutan.

Si burung beo melihat semua kejadian itu. Ia terbang mengikuti kemana kerbau-kerbau milik Ambo Upe itu akan disembunyikan para perampok. Setelah mengetahui enam ekor kerbau itu disembunyikan di dalam gua di dalam hutan, si burung beo lantas terbang secepatnya ke rumah Ambo Upe.

Ayah Ambo Upe keheranan mendapati burung beo peliharaan anaknya itu kembali ke rumah dan mengoceh. Sama sekali ia tidak mengetahui apa yang diucapkan si burung beo. Namun, karena si burung beo seperti hendak mengajaknya, ayah Ambo Upe akhirnya menyadari akan bahaya yang tengah dialami anaknya. Bersama beberapa tetangganya, ayah Ambo Upe lantas mengikuti ke mana si burung beo terbang. Tak lupa mereka membawa senjata untuk menghadapi hal-hal buruk yang mungkin akan mereka temui. Amat terperanjatlah mereka kemudian saat mendapati Ambo Upe terikat pada Datang pohon sementara enam kerbau gembalaannya telah menghilang.

Ambo Upe lantas menceritakan kejadian yang dialaminya. Katanya, “Aku tidak tahu dibawa kemana enam kerbau gembalaanku itu setelah aku disergap dan diikat dua perampok itu.’

Ayah Ambo Upe dan orang-orang lainnya bersepakat untuk mencari di mana dua perampok itu berada untuk mengambil kembali kerbau kerbau yang telah mereka rampok. Namun, mereka merasa bingung hendak mencari ke mana. Mendadak si burung beo terbang di dekat Ambo Upe dan seperti memberi isyarat agar Ambo Upe mengikutinya.

Orang-orang pun akhirnya mengikuti arah terbangnya si burung beo. Mereka memasuki hutan. Beberapa saat berjalan, mereka akhirnya menemukan sebuah gua. Secara sembunyi sembunyi mereka mengintai. Mereka mendengar suara kerbau dari dalam gua.

“Rupanya gua ini menjadi tempat persembunyian para perampok serta tempat untuk menyembunyikan barang-barang hasil rampokan mereka.” bisik ayah Ambo Upe. “Mari kita tangkap para perampok itu!”

Dengan senjata terhunus pada tangan masing-masing, orang-orang itu pun segera mengepung gua. Mereka bergerak hati-hati ketika memasuki gua. Mereka dapati berpuluh-puluh ekor kerbau berada di dalam gua itu. Mereka lihat pula dua perampok itu tengah tertidur di dalam dua lubang kecil di dalam gua. Serentak mereka menangkap dua perampok itu dan mengikat kedua tangan mereka.

Dua perampok segera mereka gelandang dan kerbau-kerbau hasil rampokan dua perampok itu segera mereka giring keluar dari dalam gua. Kedatangan mereka disambut suka cita penduduk, terutama mereka yang telah kehilangan kerbau. Kerbau-kerbau mereka telah berhasil ditemukan kembali dan dua perampok yang selama itu meresahkan warga akhirnya dapat diringkus.

Ambo Upe sama sekali tidak menyangka, si burung beo itu dapat membalas budi begitu besar terhadapnya. Ia hanya sekali menyelamat kan si burung beo, namun berulangkali burung beo itu menyelamatkan dari berbagai bahaya yang mengancam jiwanya. Sungguh-sungguh berterima kasihlah” Ambo Upe kepada burung beo peliharaannya itu. Ia pun berketetapan hati untuk rnenyayangi hewan-hewan lainnya, karena hewan pun sesungguhnya bisa membalas budi jika mendapat perlakuan yang baik. Seperti yang ditunjukkan si burung beo piaraannya itu

Pesan Moral dari Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak : Balas Budi Si Burung Beo adalah kita hendaklah menyayangi hewan karena hewan juga makhluk hidup ciptaan tuhan. hewan pun dapat membalas budi. jika hewan kita perlakukan dengan baik, hewan pun akan memperlakukan kita dengan baik pula.

Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak : La Tongko-Tongko

 

Pada zaman dahulu hiduplah seorang anak lelaki yang sangat bodoh. Ia pun dijuluki La Tongko-tongko karena kebodohannya itu. Sepeninggal ayahnya, La Tongko-tongko hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Ketika menjelang dewasa usianya, La Tongko-tongko berniat beristri. Disebutkannya niatnya itu kepada ibunya. Jawab ibunya, “Terserah kepadamu. Carilah istrimu sendiri sesukamu. Semoga ada seorang perempuan yang mau engkau nikahi.”

La Tongko-tongko segera pergi mencari caIon istrinya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang perempuan yang tengah menjunjung belanga. La Tongko-tongko segera mendekati perempuan iu dan berujar, “Hai perempuan penjunjung belanga, maukah engkau menjadi istriku?”

Si perempuan penjunjung belanga sangat terkejut mendengar ucapan La Tongko-tongko. Dipikirnya La Tongko-tongko adalah lelaki kurang ajar yang berani melecehkan kehormatannya. Maka, dilemparkannya belanga yang dijunjungnya itu ke arah La Tongko-tongko.

Posting kali ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi yang cocok digunakan sebagai cerita dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.
Posting kali ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yaitu Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi yang cocok digunakan sebagai cerita dongeng sebelum tidur untuk anak-anak.

La Tongko-tongko berlari kembali ke rumahnya seraya menahan sakit pada kepalanya karena terkena lemparan belanga. Kepada ibunya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya itu. “Perempuan itu malah melemparku dengan belanga ketika kutanya apakah ia bersedia menjadi istriku.”

Ibu La Tongko-tongko menggeleng-gelengkan kepala mendapati betapa bodohnya anaknya. Disarankannya agar anaknya tidak mengulangi perbuatan bodohnya itu. Disarankannya pula untuk mencari perempuan lain dan berkata dengan sopan.

La Tongko-tongko kembali mencari perempuan yang bersedia diperistrinya. Ia menuju desa Iain.Ia menemukan seorang perempuan yang juga tengah menjunjung belanga. Ia lantas mendekati dan berujar, “Wahai perempuan penjunjung belanga, apakah engkau bersedia aku nikahi?”

Sama halnya dengan yang dialami La Tongkotongko sebelumnya, perempuan itu tidak menjawab pertanyaan La Tongko-tongko, melainkan melemparkan belanganya ke arah La Tongko-tongko.

La Tongko-tongko kembali pulang ke rumahnya clan menceritakan kejadian yang dialaminya itu kepada ibunya.

“Engkau tidak bisa langsung seperti itu,” nasihat ibunya. “Sebelum engkau mengajak menikah, engkau seharusnya berkenalan lebih dahulu dengan perempuan itu. Setelah hubungan kalian akrab, engkau baru bisa mengajaknya menikah.”

La Tongko-tongko mengangguk-anggukkan kepala. Diingat-ingatnya nasihat ibunya itu sebelum ia kembali meninggalkan rumahnya untuk mencari perempuan yang bersedia dinikahinya.

Dalam perjalanannya, La Tongko-tongko akhirnya tiba di sebuah pemakaman. Ketika itu ada mayat seorang perempuan yang disandarkan pada batang pohon sebelum nanti dikuburkan. Karena bodohnya, La Tongko-tongko tidak mengetahui jika perempuan itu telah meninggal dunia. Ia mendekati mayat perempuan itu dan bertanya, “Wahai perempuan cantik, bolehkah aku berkenalan denganmu?”

Mayat perempuan itu tentu saja tidak menjawab pertanyaan La Tongko-tongko.

“Kalau engkau tidak menjawab; berarti engkau setuju berkenalan denganku,” Ucap Tongko-tongko kemudian. Ia pun mengajak berbincang-bincang mayat perempuan itu. Beberapa saat kemudian ia lantas berkata lagi, “Aku rasa hubungan kita telah akrab. Bagaimana pendapatmu jika engkau kujadikan istri?”

La Tongko-tongko menunggu dan ketika tidak mendapatkan jawaban, ia kembali menanyakan kesediaan mayat perempuan itu untuk menjadi istrinya. “Jika engkau tetap terdiam,” kata La Tongko-tongko selanjutnya, “Itu berarti engkau setuju dengan ajakanku.”

Karena mayat perempuan itu tidak juga menjawab, La Tongko-tongko menganggap mayat perempuan itu bersedia menjadi istrinya. Segera digendongnya mayat perempuan itu dan dibawanya ke rumah.

Ketika La Tongko-tongko tiba di rumahnya, ibunya tengah memasak di dapur. Dengan wajah gembira ia menyatakan telah menemukan seorang perempuan yang bersedia menjadi istrinya. “Hanya saja calon istriku ini sangat pendiam orangnya,” kata La Tongko-tongko.

Tanpa memperhatikan kondisi perempuan yang hendak diperistri anaknya, ibu La Tongkotongko langsung menjawab, “Tidak mengapa calon istrimu itu sangat pendiam. Yang penting, ia mau menjadi istrimu. Lagipula, aku juga tidak suka mempunyai menantu yang cerewet.”

“Aku lihat calon istriku ini juga sangat mengantuk,” kata La Tongko-tongko lagi, “Ibu, bolehkah ia kutidurkan di kamarku?”

“Ya. Biarkan dia beristirahat dahulu,” jawab ibu La Tongko-tongko. “Nanti kalau masakan ibu telah matang, bangunkan ia dan ajak ia untuk makan bersama kita.”

La Tongko-tongko lantas menggendong dan meletakkan calon istrinya itu di atas ranjangnya. Ia pun duduk di pinggir ranjang seraya terus memandang wajah calon istrinya yang cantik itu. Tak berapa lama kemudian ibunya memanggilnya karena masakannya telah matang. Ia pun mencoba membangunkan calon istrinya tu. Tetap juga mata calon istrinya itu terpejam meski La Tongko-tongko menepuk-nepuk dan bahkan menggoyang-goyangkan tubuh calon istrinya itu. Serunya kemudian, “Ibu, aku telah membangunkan calon istriku ini, tetapi ia tidak juga bangun-bangun.”

Ibu La Tongko-tongko lantas memasuki kamar anaknya. Terperanjat ia ketika mendapati calon istri anaknya itu telah meninggal dunia. Bahkan, telah mengeluarkan bau busuk pula. “Anakku,” katanya kemudian, “Perempuan ini sudah meninggal dunia. Ia telah menjadi mayat.”

“Dari mana ibu tahu jika calon istriku ini telah meninggal dunia?”

“Tidakkah engkau mencium bau busuk yang menyengat ini?” kata ibu La Tongko-tongko. “Orang yang telah meninggal dunia itu pasti berbau busuk. Cepat kuburkan mayat ini!”

Dengan hati sedih La Tongko-tongko lantas menguburkan mayat perempuan itu. Mengertilah ia, orang yang telah meninggal dunia itu akan berbau busuk.

Selesai menguburkan mayat perempuan itu La Tongko-tongko pulang kembali ke rumahnya. Ia lantas makan bersama ibunya. Ketika tengah makan, ibu La Tongko-tongko kentut. Sangat berbau kentut ibu La Tongko-tongko itu. Ketika La Tong ko- tongko mencium bau busuk itu ia pun yakin jika ibunya telah meninggal dunia. La Tongko-tongko segera menghentikan makannya dan membawa ibunya keluar rumah untuk dikuburkan.

“La Tongko-tongko! Aku ini masih hidup!”

“Tidak! Kata ibu, orang yang meninggal dunia itu pasti mengeluarkan bau busuk. Ibu telah mengeluarkan bau busuk, jadi ibu sudah meninggal dunia.”

Susah payah ibu La Tongko-tongko menjelaskan bahwa dirinya masih hidup dan bau busuk yang dikeluarkannya itu berasal dari kentutnya. La Tongko-tongko tetap menganggap ibunya telah meninggal dunia dan harus segera dikuburkannya. Beruntung bagi ibu La Tongko-tongko, ia dapat melepaskan diri dari pegangan anaknya. Ia terus berlari menjauhi anaknya. La Tongko-tongko tidak juga mengejar karena perutnya masih terasa lapar. Ia kembali ke rumahnya untuk menghabiskan makanannya.

Ketika La Tongko-tongko tengah makan, ia juga kentut. Ia mencium bau busuk. Seketika mendapati bau busuk itu berasal dari dirinya, ia pun menganggap jika dirinya telah mati. Segera ia mencari tempat untuk menguburkan dirinya sendiri. La Tongko-tongko menggali lubang kubur di dekat pohon mangga. Ia lalu menguburkan dirinya sendiri hingga sebatas leher.

Pada malam harinya seorang pencuri yang akan mencuri buah mangga. Si pencuri sangat terperanjat mendapati adanya kepala yang menyembul dari dalam tanah. “Siapa engkau?” tanyanya.

“Aku La Tongko-tongko:”

“Mengapa engkau di tempat ini?”

“Aku sedang menguburkan diriku karena aku sudah mati;” jawab La Tong ko-tongko. Ia lalu menjelaskan penyebab anggapannya jika dirinya telah mati.

Si pencuri mengerti jika orang yang dihadapinya itu sangat bodoh. Ia pun berniat memperdaya La Tongko-tongko. Diajaknya La Tongko-tongko untuk mencuri kerbau. La Tongko-tongko menuruti ajakan si pencuri. La Tongko-tongko lalu memasuki kandang kerbau yang ditunjukkan si pencuri sementara si pencuri sendiri menunggu di luar kandang. Ketika mengambil kerbau, La Tongko-tongko sangat berisik hingga pemilik kerbau pun keluar dari rumah dan menangkapnya. Si pencuri Iangsung melarikan diri melihat La Tongko-tongko ditangkap pemilik kerbau.

Si pemilik kerbau akhirnya melepaskan La Tongko-tongko setelah mengetahui kebodohannya. Dalam perjalanannya menuju rumahnya, La Tongko-tongko kembali bertemu dengan si pencuri. Waktu itu si pencuri mengajak La Tongkotongko untuk mencuri di sebuah rumah.

Pemilik rumah yang tengah diincar si pencuri kebetulan tengah bersedih karena kematian salah seorang saudaranya. Karena hari telah malam, ia berniat menguburkan mayat saudaranya itu keesokan harinya. Ia hanya memasukkan mayat itu ke dalam karung. Si pemilik rumah mengetahui jika ada pencuri yang mengincar rumahnya. Ia lalu bersiasat. Dimasukkan pecahan kaca ke dalam karung tempatnya menyimpan mayat saudaranya. Ia lalu bepura-pura telah tertidur pulas. Ia tetap berpura-pura tidur ketika La Tongko-tongko memasuki rumahnya.

La Tongko-tongko telah diberitahu si pencurl agar menggoyang-goyangkan karung yang terdapat di dalam rumah itu. Jika terdengar suara bergemerincing dari dalam karung, ia diminta untuk mengambilnya. Ketika La Tongko-tongko menggoyang-goyangkan karung berisi mayat dan pecahan kaca, ia mendengar suara bergemerincing. Ia pun langsung mengangkut karung itu dan memberikan kepada si pencuri.

Si pencuri berniat menguasai isi karung, tidak mau berbagi dengan La Tongko-tongko. Ia lantas berlari. Namun, La Tongko-tongko terus mengejarnya. Keduanya terus berkejar-kejaran. Si pencuri yang kelelahan akhirnya menyerah. Ia pun berniat membagi isi karung dengan La Tongko-tongko.

Tak terkirakan terperanjatnya si pencuri saat membuka karung yang ternyata berisi mayat dan pecahan kaca. Benar-benar ia merasa sial setelah bertemu dengan La Tongko-tongko. Maka dimintanya La Tongko-tongko kembali ke rumahnya. Keduanya lantas berpisah. Si pencuri menuju arah barat dan La Tongko-tongko menuju arah selatan. Sejak saat itu keduanya tidak lagi pernah bertemu.

Pesan Moral dari Cerita Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak-Anak : La Tongko-Tongko adalah kita hendaklah tidak memanfaatkan kelemahan atau kekurangan orang lain. selain itu, kita hendaknya pula belajar dengan rajin agar tidak menjadi orang yang bodoh.

Kedua cerita sebelum tidur untuk anak-anak yang kami ceritakan hari ini berasal dari Sulawesi Selatan. Kedua kisah ini semakin membuktikan bahwa bangsa Indonesia sangat kaya dengan budaya. Seperti yang sering kami sampaikan di setiap posting kami, jika artikel ini bermanfaat, kami sangat berharap pembaca dapat membagikan link artikel ini melalui sosial media seperti facebook, twitter dan google plus. Dengan membantu membagikan link kami, ini juga membantu kami untuk bisa bertahan membagikan cerita anak dan cerita rakyat untuk seluruh anak Indonesia

 

Tinggalkan Balasan